Kesetaraan gender terdiri dari dua kata, yakni setara dan gender. Setara diartikan sebagai sejajar, sama tingkatnya, sepadan, atau seimbang. Sementara itu, gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender merujuk pada keadaan serta kondisi yang setara antara laki- laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban (KemenPPPA, 2017).
Pembahasan mengenai kesetaraan gender termuat secara implisit dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 281 ayat (2). Selain UUD 1945, sebenarnya, sudah ada peraturan yang secara spesifik membahas tentang gender, yakni Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Namun, implementasi Inpres tersebut tidak berjalan efektif sebagaimana mestinya. Untuk merespons isu mengenai kesetaraan gender dan memperbarui peraturan sebelumnya, pemerintah menyusun RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) yang telah dicanangkan sejak 2012.
Salah satu upaya dalam mendukung kesetaraan gender adalah dengan memberdayakan perempuan dalam pembangunan yang bertujuan agar meningkatkan partisipasi dalam pembangunan. Apabila menilik salah satu sejarah di Indonesia, terdapat program pembangunan atau biasa dikenal dengan trilogi pembangunan. Program tersebut berperan dalam mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Ditambah lagi terdapat organisasi yang turut mendukung tujuan tersebut, yakni Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita (Kusumawardhana dan Abbas, 2018).
Kesetaraan gender dapat diukur melalui tiga indikator. Indikator pertama adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG). Berdasarkan data BPS, rata-rata IPG tahun 2021 berada di angka 90,4 dari 100. Angka tersebut menandakan bahwa IPG di Indonesia dapat dikategorikan cukup tinggi. Namun, apabila ditinjau tiap daerah, akan nampak adanya ketimpangan pada skor IPG. Indikator selanjutnya adalah Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Data ditemukan bahwa skor IDG tahun 2021 berada pada angka 76,26. Angka tersebut meningkat daripada tahun sebelumnya, tetapi persentase peningkatannya tidak terlalu besar. Indikator terakhir adalah Indeks Ketimpangan Gender (IKG). Berdasarkan survei dari World Economic Forum (WEF), tingkat ketimpangan gender di Indonesia tergolong ke dalam peringkat bawah, yaitu peringkat ke-92 dari 146 negara (Katadata, 2022).
Kesetaraan gender masih menjadi isu diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin, terutama perempuan. Beberapa contohnya adalah fenomena the glass ceiling effect dan the glass cliff effect. The glass ceiling effect adalah situasi adanya halangan atau batasan bagi perempuan untuk naik ke posisi jabatan tertentu dalam dunia kerja. Hal tersebut terkait dengan stereotip bahwa laki- laki lah yang harus menduduki posisi atau jabatan tertentu yang tempatnya berada di atas dalam hierarki.
Kemudian, fenomena lainnya adalah the glass cliff effect, yakni situasi ketika perempuan lebih diberikan posisi yang kurang berpotensi untuk berkembang. Di sisi lain, laki-laki lebih mendapat posisi jabatan yang menjanjkan, stabil, dan lebih berpotensi untuk meraih kesuksesan
Permasalahan kesetaraan gender sebenarnya tidak terlepas dengan budaya dari masyarakat tertentu. Misalnya, di suatu budaya tertentu, masing-masing jenis kelamin memang memiliki perannya masing-masing dan peran tersebut cenderung sulit untuk diubah atau ditukar karena memang sudah dilakukan secara turun-temurun.
Selain itu, faktor biologis juga seringkali berpengaruh pada penempatan peran sosial dan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Bahkan, isu kesetaraan dalam jenis kelamin juga muncul dari arena Sea Games. Dilansir dari Kompas.com (3/12/2019), kasus ini terjadi pada ajang Sea Games tahun 2019 yang dilaksanakan di Filipina. Korban berinisial SAS yang merupakan atlet senam dipulangkan karena dituduh tidak perawan oleh pelatihnya.
Larasati (2021) mengungkapkan bahwa ketidaksetaraan gender di sektor pendidikan menjadi kontributor terbesar dari adanya ketidaksetaraan gender secara umum di Indonesia. Hal ini terjadi karena sektor ini akan berpengaruh pada isu pekerjaan/jabatan, penempatan, peran di komunitas tertentu, dan mekanisme atau praktik menyuarakan pendapat. Selain itu, ketimpangan gender di bidang pendidikan mengakibatkan produktivitas sumber daya manusia di Indonesia menjadi rendah sehingga pertumbuhan ekonomi pun ikut menjadi rendah (Sitorus, 2016).
Pada sektor lainnya, menurut Larasati (2021), adanya ketimpangan gender di sektor kesehatan cenderung terjadi pada perempuan dengan keluarga berekonomi rendah. Hal ini terjadi karena beberapa permasalahan, seperti tidak ada biaya dan akses transportasi, pelayanan yang tidak sesuai dengan budaya atau tradisi masyarakat, tidak mendapat izin dari suami, dan stigma secara keseluruhan terkait orang-orang miskin.
Nyatanya, kesetaraan gender di Indonesia masih menjadi suatu isu yang belum terselesaikan. Banyak problematika di berbagai bidang, payung hukum yang belum jelas, dan permasalahan kesetaraan gender yang berdampak besar bagi psikologis maupun fisik individu. Belum lagi, adanya pro dan kontra terkait kesetaraan gender mengindikasikan bahwa konsep kesetaraan gender belum dipahami secara menyeluruh di kalangan masyarakat. Lantas, apakah konsep kesetaraan gender yang dipahami oleh masyarakat telah sesuai atau masih ada misinterpretasi mengenai kesetaraan gender?
*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi IMM Komisariat Allende Periode 2022-2023.