“Lu punya duit, lu punya kuasa.” Ungkapan ini sering terdengar di kalangan generasi saat ini. Siapa yang tak tergiur dengan uang? Bahkan, banyak yang menjadikan uang sebagai alat untuk membeli kekuasaan, baik di ranah politik maupun aspek kehidupan yang lainnya.
Dengan uang, kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Uang memang menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan. Uang mampu mempengaruhi semua aspek kehidupan, terutama di kalangan mahasiswa.
Saat ini, pola pikir mahasiswa cenderung hedonis. Ketika memiliki uang lebih, mereka sering membelanjakannya tanpa berpikir apakah hal tersebut penting atau tidak. Akibatnya, banyak mahasiswa yang naif dalam mengelola keuangan mereka.
Banyak mahasiswa yang belum mampu mengelola keuangan dengan baik. Padahal hal ini sangat penting. Entah itu untuk kebutuhan membuat skripsi, mencetak tugas, dan kegiatan kemahasiswaan lainnya.
Contoh lainnya adalah, mahasiswa yang menerima KIP-K dengan pendapatan yang cukup lumayan. Namun tidak sedikit yang sering kali belum mampu mengelola uang tersebut dengan baik. Sehingga mereka menjadi terlalu konsumtif dan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan.
Padahal, uang KIP-K seharusnya digunakan sebagai penunjang untuk berkuliah dan membeli barang-barang yang mendukung kegiatan akademis.
Mengelola keuangan bagi mahasiswa adalah skill penting yang dapat mempengaruhi kehidupan akademis dan sosial mereka. Terlebih lagi, keterbatasan sumber daya finansial membuat banyak mahasiswa bergantung pada dana dari orang tua, beasiswa, atau pekerjaan paruh waktu.
Dalam kondisi ini, mahasiswa perlu lebih bijak dalam mengelola keuangan dan merencanakan pengeluaran. Mahasiswa perlu membuat anggaran bulanan untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran, serta menggunakan aplikasi keuangan atau catatan kecil untuk membantu memantau pengeluaran sehari-hari.
Mahasiswa harus memahami mana pengeluaran yang penting (seperti biaya kuliah, buku, dan kebutuhan sehari-hari) dan mana yang bisa dihindari (seperti makan di luar atau belanja barang yang tidak perlu).
Selain itu, media sosial sering kali memengaruhi pola konsumsi mahasiswa, yang dapat menyebabkan gaya hidup boros. Pengaruh-pengaruh di media sosial membuat mahasiswa merasa perlu mengikuti tren dan gaya hidup teman sebaya, yang memicu pengeluaran yang tidak perlu.
Media sosial juga berperan besar dalam mendorong mahasiswa untuk memposting gaya hidup yang terlihat mewah dan glamour.
Gaya hidup konsumtif yang dihadapi mahasiswa sering kali didorong oleh keinginan untuk tampil keren atau diterima dalam komunitas, yang akhirnya mengarah pada pembelian barang-barang yang tidak diperlukan.
Misalnya, sering makan di luar, membeli pakaian baru, atau mengikuti berbagai acara sosial yang memerlukan biaya. Gaya hidup boros ini sering kali menyebabkan stres dan kecemasan terkait keuangan, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa. Rasa bersalah atau malu karena pengeluaran berlebihan dapat berdampak pada performa akademik.
Tak jarang, mahasiswa juga terjerat dengan pinjaman online (pinjol). Menurut laporan dari Medcom.id (18/9/2024), fenomena pinjol sudah masuk ke kampus. Banyak mahasiswa yang terjerat utang dan kesulitan untuk melunasinya.
Dewan Siberkreasi, Yosi Mokalu, menjelaskan bahwa disrupsi teknologi menjadi faktor pendorong yang membuat informasi lebih cepat diterima. Termasuk informasi tentang gaya hidup. Yosi juga berpendapat bahwa anak muda sering kali membutuhkan pengakuan dari sesamanya.
Untuk memenuhi ekspektasi tersebut, mereka rela menggunakan pinjol tanpa perhitungan. Faktor FOMO (fear of missing out) juga menjadi alasan utama mengapa generasi muda cenderung mengambil fasilitas pinjol.
Adapun salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan berpikir kritis. Kemampuan ini adalah keterampilan fundamental bagi mahasiswa untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dengan mengembangkan kemampuan ini, individu dapat menjadi lebih bijak dalam pengambilan keputusan, lebih efektif dalam memecahkan masalah, dan lebih responsif terhadap tantangan yang ada.
Berpikir kritis tidak hanya membantu dalam konteks akademis, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Mahasiswa yang berpikir kritis dapat memiliki jiwa skeptis, yang berarti mampu mengolah, memilih, dan mempertanyakan informasi yang diterima, sehingga tidak mudah percaya pada perkataan orang lain.
Orang-orang yang berpikir kritis sadar akan kemampuan diri sendiri dan terus berlatih untuk mengenali diri sendiri serta orang lain. Mereka juga mampu mengekspresikan empati dan kepercayaan pada orang lain, yang merupakan cara yang sangat baik untuk memahami orang lain dengan lebih baik. Oleh karenanya, semua ini akan sangat bermanfaat dalam mengelola keuangan.
*Penulis adalah Ketua Bidang HPKP IMM Komisariat Al-Qossam.