Dilema Alpha Female dalam Agama: Perempuan dan Pemimpin Pandangan Muhammadiyah

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Rafif Burhanuddin M.)

 

Dunia modern sedang mengalami perubahan besar dalam persepsi terhadap peran perempuan, termasuk dalam institusi keagamaan. Diskusi mengenai perempuan memimpin atau “alpha female” telah muncul di berbagai bidang, dari bisnis hingga politik, bahkan dalam hal agama.

Di tengah arus perubahan ini, Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam progresif di Indonesia, termasuk yang selalu menunjukkan sikap terbuka terhadap peran publik perempuan. Hal ini berbeda dari pandangan konservatif yang kerap membatasi peran perempuan dalam kepemimpinan. Apakah agama mendukung atau menentang konsep perempuan sebagai pemimpin? Bagaimana Muhammadiyah, dengan prinsip Islam moderatnya, menanggapi isu ini?

 

Alpha Female dan Dominasi dalam Sejarah Agama

Alpha female merujuk pada perempuan yang memiliki kekuatan dan kepemimpinan dalam komunitas mereka. Secara historis, berbagai tradisi agama mengenal figur perempuan yang berpengaruh, seperti Ratu Balqis dalam Al-Quran yang dikenal sebagai ratu yang dicintai rakyatnya, atau Deborah dalam Kitab Suci Kristen yang dikenal sebagai hakim perempuan bangsa Israel di masa itu.

Kehadiran tokoh-tokoh ini memberikan contoh bahwa dalam sejarah agama, perempuan ternyata pernah memiliki peran. Akan tetapi menurut Efendi dan Nikmah (2021) dalam perkembangan zaman, interpretasi keagamaan sering kali mengedepankan struktur patriarkal dengan dominasi laki-laki yang menempatkan perempuan di posisi subordinat

Teks agama Islam, baik Al-Qur’an maupun hadits, memberikan petunjuk yang kompleks mengenai posisi perempuan. Beberapa ayat dan hadits sering diinterpretasikan sebagai pembatas peran perempuan di ranah publik. Contohnya hadits yang diriwayatkan Abu Bakrah;

[لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْ أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةٌ . [رواه البخارى و النسائى و الترمذى و أحمد

Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” [HR. al-Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ahmad]

Namun ternyata dalam memahami teks ini perlu pendekatan maqashid al-syariah (tujuan syariah). Ini dikarenakan dalam penafsiran teks kita perlu untuk memahami konteksnya secara lebih luas. Sehingga muncul banyak pemahaman baru yang lebih kontekstual dan tidak menyalahi faham teks asli. Penafisiran baru dalam hal ini menjadi penting.

Perspektif baru ini menjadi dasar untuk mengkaji posisi kesetaraan dan keadilan gender dalam peran kepemimpinan. Pemahaman maqashid ini menekankan prinsip keadilan yang memberikan hak yang setara bagi laki-laki dan perempuan dalam peran publik dan privat.

 

Muhammadiyah Memandang Pemimpin Perempuan

Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki pandangan yang mendukung peran publik perempuan. Organisasi ini mengakui hak perempuan untuk mengambil peran signifikan dalam kepemimpinan dan memberikan contoh konkret melalui organisasi otonomnya, Aisyiyah.

Aisyiyah yang menjadi perkumpulan bagi perempuan Muhammadiyah terlibat aktif dalam dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, serta untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Ruang keperempuanan sekaligus bentuk bukti pemberdayaan perempuan yang dilakukan Muhammadiyah yang merepresentasikan gerakan islam.

Halimah & Hasibuan (2019) mengungkapkan bahwasannya memang adanya gerakan Aisyah ini membuktikan bahwa Muhammadiyah mendukung perempuan untuk berperan sebagai pemimpin dan pengambil keputusan yang kuat dalam masyarakat Muslim Indonesia.

Muhammadiyah juga mendukung pendidikan yang setara bagi perempuan karena merupakan pilar penting dalam pemberdayaan perempuan. Gerakan ini menjadi pondasi bagi perempuan untuk berkiprah menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, termasuk dalam komunitas religius dan organisasi publik.

Dalam penelitian yang dilakukan Isti’anah dan Yunita (2022) di Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah, menemukan fakta yang cukup unik,  ternyata di sana santri perempuan didorong untuk memahami dan terlibat dalam isu-isu politik dan sosial, yang membangun kapasitas mereka sebagai pemimpin masa depan.

 

Perlawanan dan Penerimaan

Perempuan dalam kepemimpinan agama di Muhammadiyah tentu masih menghadapi tantangan, terutama dari kelompok konservatif. Namun, Muhammadiyah telah menunjukkan sikap inklusif terhadap perempuan dalam peran kepemimpinan, dengan menegaskan bahwa kesetaraan gender sejalan dengan prinsip-prinsip keislaman yang adil dan berkeadilan.

Afirmasi gerakan perempuan ini diperkuat dengan fatwa-fatwa di Muhammadiyah yang mendukung peran publik perempuan dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Konsep “alpha female” dalam Muhammadiyah tentunya berpotensi besar untuk menginspirasi perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Namun, stigma terhadap perempuan berkuasa masih tabu di kalangan tertentu.

Stereotip bahwa perempuan tidak sesuai untuk peran pemimpin masih menjadi hambatan bagi banyak perempuan di Indonesia. Dalam Muhammadiyah, tantangan ini dijawab dengan pendidikan dan pemberdayaan sebagai lokomotif utama untuk mendorong perempuan agar tidak hanya menjadi pemimpin, lebih-lebih didorong menjadi agen perubahan sosial di komunitas mereka.

Penerimaan terhadap peran perempuan ini juga membuktikan bahwa Muhammadiyah selalu tanggap pada perubahan zaman dan mampu mengakomodasi dinamika sosial dalam koridor syariah yang luwes, tidak kaku. Prinsip Muhammadiyah selalu mempertimbangkan tujuan keadilan dan kebaikan.

 

Alpha Female, Ayo Ambil Peran!

Melalui organisasi Aisyiyah, Muhammadiyah memperlihatkan dukungan nyata terhadap pemberdayaan perempuan dalam diskursus gender dalam komunitas Muslim. Pandangan ini menunjukkan bahwa konsep alpha female dapat diterima dalam konteks Islam, selama nilai-nilai keadilan dan etika Islam ditegakkan.

Penegasan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin dalam agama membuka peluang bagi interpretasi yang lebih inklusif di berbagai komunitas Islam. Perempuan bukan hanya bagian dari jamaah, bukan selalu menjadi objek, bukan ‘Gender Kedua’ dalam istilah Simone de Beauvoir. Lebih dari itu, perempuan sanggup menjadi pemimpin yang mampu memajukan umat.

Alpha female adalah sebuah seruan. Suara yang menggema menjadi inspirasi bagi generasi muda perempuan Muslim. Panggilan kepada mereka yang berani mengambil peran dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil.


 

*Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin FIAD.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *