Dalam kitab sejarah Islam yang ditulis oleh ulama terdahulu, ternyata mengandung banyak kontradiksi dalam deskripsi suatu peristiwanya. Banyaknya kontradiksi yang ada pada kitab sejarah Islam kiranya perlu dimaklumi, sebab boleh jadi kitab tersebut ditulis belakangan dan jauh dari peristiwa aslinya (Sirry, 2017).
Di samping itu, melalui adanya kontradiksi tersebut justru membuat para sarjana modern lebih giat dalam mencari tahu fakta sebenarnya dari deskripsi-deskripsi peristiwa yang ada. Kontradiksi yang dimaksud, misalnya perbedaan penyebutan nama-nama komandan atau nama tempat dalam suatu peristiwa peperangan, dan lain sebagainya.
Banyaknya kontradiksi ini menjadi cukup substansial, karena melekat pada akurasi antara deskripsi dan fakta. Misalnya dalam kitab Tarikh al-rusul wa al-muluk yang ditulis oleh Tabari (w. 310 H) dan dalam kitab Futuh al-Buldan ditulis oleh Baladuri (w. 279 H).
Di dalam kedua kitab tersebut, termuat deskripsi tentang peristiwa penaklukan sebuah kota. Akan tetapi, Tabari dan Baladuri berbeda mengenai penyebutan nama kota yang ditaklukkan.
Tabari meriwayatkan, Umar bin Khattab bertanya kepada Hurmuzan (mantan Jenderal Persia), mengenai kota mana yang dijadikan target penaklukan? Apakah Fars, Azarbaijan atau Isfahan? Sebelum menjawabnya, Hurmuzan dalam pikirannya mengumpamakan ketiga kota itu seperti burung.
Kota Fars dan Azarbaijan bagaikan kedua sayap, sementara Isfahan bagaikan kepalanya. Sehingga menurut Hurmuzan, jika kepalanya bisa ditaklukkan, maka seluruh kekuasaan Persia akan runtuh. Alhasil Hurmuzan menyarankan kepada Umar untuk menaklukan kota Isfahan (Sirry, 2017).
Berbeda dengan Tabari. Sesama tokoh muslim terdahulu yakni Baladuri, meriwayatkan cerita tentang penaklukkan sebuah kota, mirip seperti apa yang diriwayatkan Tabari. Akan tetapi penyebutan nama kota yang ditaklukkan berbeda. Tabari menyebut kota Isfahan, sedangkan Baladuri menyebut kota Nihawand.
Kedua cerita di atas cukup menarik, karena bagaimana mungkin sebuah episode penaklukkan yang sama menghubungkan dua kota berbeda? Lalu, cerita siapa yang kemungkinan benar?
Sejarawan asal Jerman, Albrecht Noth melakukan studi kritis terhadap sejarah Islam khususnya tentang perluasan wilayah Islam. Noth, berpendapat bahwa kemungkinan besar yang benar adalah Baladuri (Sirry, 2017).
Sebab pertama, Baladuri sendiri merupakan seorang sejarawan yang lebih awal daripada Tabari. Selain itu, deskripsi penaklukkan Nihawand yang diriwayatkan oleh Baladuri, juga diriwayatkan oleh Abu Yusuf (w. 182 H). Seorang ulama yang mempunyai pengetahuan ilmu tafsir, periwayatan hadis, strategi perang, dan penanggalan Arab.
Sebab kedua adalah Nu’man bin Muqarrin, yang sering disebut sebagai komandan yang mati syahid di Nihawand, adalah pahlawan dalam peperangan itu.
Banyaknya kontradiksi yang tertulis dalam kitab sirah dan sejarah Islam cukup sulit untuk diverifikasi mana yang faktual dan mana yang tidak. Akibatnya, keraguan atas peristiwa yang berkaitan dengan sejarah Islam pun muncul; apakah benar-benar terjadi atau hanya sekadar karangan dengan latar lokasi dan kepentingan setiap penulis yang berbeda-beda.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin FIAD.