Kesetaraan Gender dan Isu Perempuan

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Pertanyaan seputar pentingnya isu kesetaraan gender saat ini masih terbesit dalam pikiran beberapa orang. Posisi perempuan sebagai nomor dua dalam kehidupan sosial-budaya Indonesia membuat mereka jarang terlibat atau bahkan tidak dilibatkan untuk hal-hal yang fundamental.

Dalam buku Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender oleh Palulungan, et al. (2020) dijelaskan bahwa persepsi umum masyarakat cenderung meremehkan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kelemahan, keterbatasan, selalu menggunakan perasaan, serta tidak bisa logis. Sebaliknya, laki-laki dipersepsikan sebagai individu superior dan dianggap memiliki tanggung jawab penuh dalam semua aspek kehidupan, baik rumah tangga maupun bermasyarakat.

Bahkan dalam hal rumah tangga, semua bentuk komunikasi dan pengambilan keputusan dimiliki oleh seorang laki-laki, khususnya bapak, dan meletakkan kaum perempuan sebagai individu nomor dua dalam keluarga. Hal ini merupakan hasil dari budaya patriarki yang sudah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan.

 

Pandangan Global terhadap Perempuan

Secara global dapat dipahami bahwa masih terdapat sebagian kaum laki-laki yang memandang remeh kaum perempuan. Mereka menganggap perempuan sebagai manusia yang hanya bertugas dan bertempat mengurus urusan domestik rumah, dan tidak dapat menyelesaikan urusan di luar rumah.

Namun, pandangan seperti itu tidaklah benar dan merupakan pemikiran yang sudah usang dan ketinggalan zaman. Perempuan merupakan sebuah objek yang harus selalu berada dibelakang laki-laki, harus patuh terhadap semua keputusan laki-laki, sehingga seringkali kaum perempuan tidak mendapat hasil yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Suatu penyebab ketertinggalan kaum perempuan, bermula dari pembagian pekerjaan secara seksual di dalam masyarakat di mana perempuan memiliki peran utama di lingkungan rumah tangga yang tentunya pembagian tersebut jauh dari suatu kata, yaitu keadilan (Larasati & Ayu, 2020).

 

Konsep Kesetaraan Gender

Pada perkembangan pengetahuan saat ini, sering digencarkan semboyan “kesetaraan gender” sebagai bentuk upaya penyamaan hak-hak yang dimiliki antara kaum laki-laki dan perempuan. Namun sebelum terlalu jauh, mesti dipahami terlebih dahulu mengenai konsep gender.

Gender, sebagaimana yang dikutip oleh Nasirudin Umar dalam (Effendy, 2014) didefinisikan sebagai konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Oleh karenanya, kesetaraan gender merupakan suatu keyakinan bahwa semua orang harus mendapat perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka (Larasati & Ayu, 2020).

Perempuan dewasa ini sudah dapat berkembang dan mengikuti kemajuan zaman, serta dapat berkontribusi dalam pembangunan nasional maupun internasional. Mereka sudah turut andil dalam tujuan pembangunan nasional, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, dan berbagai aspek lainnya.

 

Penggaungan Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender sudah harus mulai digencarkan sebesar mungkin demi menghilangkan upaya diskriminasi terhadap kaum Perempuan. Bahkan pada tahun 1984 pemerintah mengesahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Dan, pada tahun 1999, pemerintah mulai memberlakukan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tantang Hak asasi Manusia. Kemudian pada tanggal 10 Desember 2017, Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) menggandeng Pemerintah Kota Makassar, KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) Sulawesi Selatan, Yayasan LemINA, Dewi Keadilan, dan Program SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi) dalam menyelenggarakan peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) tahun 2017.

Upaya-upaya tersebut merupakan salah satu bentuk penggaungan kesetaraan gender, di mana kaum perempuan sebenarnya juga memiliki hak yang sama yang harus didapatkan selayakanya kaum laki-laki.

 

Pandangan Perempuan terhadap Budaya Patriarki

Salah satu ungkapan mengenai kesetaraan gender adalah bahwa kesetaraan gender masih harus digaungkan, terlebih lagi di daerah pedesaan dengan budaya patriarki yang masih begitu kental. Sedangkan yang menjadi fokus selanjutnya ialah, apakah budaya patriarki ini baik atau tidak?

Budaya dan ideologi patriarki yang terlanjur tersosialisasi dan mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan, seperti agama, kepercayaan, dan bernegara, menyebabkan kurangnya apresiasi terhadap peran dan kemampuan perempuan meski banyak dari mereka memiliki posisi penting dalam masyarakat dan negara sepanjang sejarah (Palulungan, et al., 2020).

Pada kenyataannya, mereka kaum perempuan menganggap patriarki itu sebagai budaya yang baik di mana laki-laki menjadi pemimpinnya, tetapi peran perempuan letaknya berada di samping bukan di belakang laki-laki. Karena menurut kaum perempuan, laki-laki dan perempuan itu sebenarnya bisa berjalan berdampingan, tanpa ada yang harus di depan bergaya superioritas dan mengatur seenaknya.

Dalam buku The Orgin of the Family, Private Property, and the State yang ditulis oleh Friedrich Engels (1884), dijelaskan bahwa budaya patriarki adalah bentuk organisasi politik yang menyalurkan ketidaksetaraan kekuasaan antara perempuan dengan laki-laki.

Dari beberapa pandangan di atas dapat kita renungkan bahwasanya pandangan mengenai kaum perempuan masih cukup krusial dan sering dianggap sebelah mata. Oleh karena itu, sebagai individu yang diberi karunia akal budi hendaknya harus selalu bijak dalam berpikir dan berpandangan mengenai kaum perempuan.

Mereka bukanlah sebuah objek yang dapat “digunakan” sesesuka hati, melainkan kaum perempuan merupakan subjek individu Merdeka yang dapat menentukan Keputusan terbaik bagi diri mereka sendiri.

Terdapat sebuah kutipan menarik dari buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (1980) yang berbunyi, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Dari ungkapan tersebut memberikan kesan agar semua individu yang berpikir harus adil dalam memandang segala hal, terlebih lagi terhadap kaum perempuan sebagi seorang manusia.


 

*Penulis adalah Kader IMM Komisariat Educare.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *