Vox populi, vox dei. Frasa tersebut merupakan serapan dari bahasa latin yang berarti, “Suara rakyat, suara Tuhan.” Secara epistemologis vox populi, vox dei muncul akibat adanya keinginan masyarakat untuk menganggap bahwa kuasa mayoritas rakyat memiliki otoritas kebenaran yang tinggi, seakan-akan mewakili kehendak suara atau Tuhan.
Bila dilihat dari sudut pandang politik, frasa tersebut memiliki tendensius pada rakyat yang ingin menekankan bahwasanya, suara rakyat memiliki kehendak besar dalam menentukan gerak dan pilihan politiknya. Dalam ranah demokrasi, vox populi vox dei memiliki agregasi dengan berjalannya sistem pemerintahan, yang mana suara rakyat mayoritas menentukan pemimpin masa depannya.
Negara dengan sistem demokrasi, orientasi siklus penentuan pemerintahannya ada di tangan rakyat. Khususnya Indonesia, negara yang memiliki jumlah penduduk sekitar 283.898.331 jiwa ini memiliki pasar besar dalam kontestasi politik. Peran kolektif rakyat yang begitu signifikan suaranya kepada politisi pilihannya, memiliki harapan besar untuk kebaikan bangsa dan negara.
Namun realitanya, setelah mereka yang dipilih oleh rakyat, tak sesuai apa yang dijanjikan ketika kampanye. Alih-alih menepati janjinya, justru mereka mengkhianati amanat yang diberikan rakyat dengan abuse of power, melalui kebijakan publik atau undang-undang yang tendensi kepada kepentingan oligarki. Seperti UU Ciptaker dan UU Omnibuslaw.
Kebijakan publik merupakan elemen penting dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara, yang secara wewenang diprakasai oleh pemerintahan negara. Secara terminologi menurut William N. Dunn dalam Pasolong (2011: 29), kebijakan publik ialah suatu rangkaian yang tipologinya saling berhubungan dengan lembaga atau pejabat pemerintahan yang kemudian berimplikasi pada bidang-bidang tugas pemerintah.
Dalam mengaktualisasikan kebijakan, tak menutup kemungkinan memiliki tendensi-tendensi yang mengarah pada kepentingan suatu kelompok. Namun dalam hal ini, seharusnya pemerintahan memikirkannya dengan matang agar tak terjadinya disorientasi kebijakan publik.
Apalah daya jika kebijakan publik hanya mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan rakyat. Tendensi seperti di atas hanya menimbulkan konflik antara pemerintahan dan rakyat. Seharusnya pemerintahan dengan rakyat memiliki sinergitas dalam tataran merumuskan kebijakan.
Hal itu harusnya bisa diimplementasikan melalui serap aspirasi yang dilakukan oleh anggota legislatif yang ada pada tingkatan kota atau kabupaten, provinsi, dan nasional, sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam undang-undang tersebut mengatur tentang tugas dan wewenang Anggota DPR, yang diantaranya, sebagai legislasi, anggaran, dan pengawasan. Selain itu juga sebagai wadah untuk serap aspirasi rakyat, namun apakah hal itu sudah termanifestasi dengan baik? Ataukah itu hanya sebagai pelengkap naskah akademik?
Tentu saja sebagai rakyat, kita perlu untuk bersikap kritis atas tindakan yang dilakukan lembaga legislatif. Seharusnya lembaga tersebut sebagai alat antitesa rezim dan bukan sebagai “anjing” peliharaan rezim yang berani mengonggong ke rakyat jelata.
Sungguh menguras emosional rakyat apabila sebagian tindakan yang dilakukan oleh mereka yang duduk di kursi parlemen hanya untuk korupsi (Aclc.kpk.go.id, 08/10/2024), main slot (Tvonenews, 27/06/2024), dan menonton porno (Kumparan.com, 13/04/2022). Persetan dengan itu semua!
Tak cuma itu, berita miring soal buruknya kualitas anggota dewan kita telah mencuat dari masa ke masa. Berita tersebut bisa kita akses melalui portal website manapun. Meskipun tak menutup kemungkinan ada juga anggota dewan yang tegak lurus bersama rakyat, namun tampaknya hal tersebut tak bertahan lama seiring menaiknya tempramen kepentingan politisi yang muncul di kontestasi parlemen.
Seperti yang diucapkan oleh Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul, “Bahwa mereka yang bermain lurus di senayan akan tewas oleh korea-korea”. Istilah korea-korea sering digunakan Bambang Pacul yang memiliki arti: orang-orang yang menggunakan segala cara untuk melenting pada jabatan tertinggi.
Kutipan yang diucapkan oleh pria yang menduduki jabatan di Komisi III DPR RI itu, seakan membawa penulis untuk berangan-angan, apakah begitu bengisnya para anggota dewan di sana saling menjatuhkan demi kepentingan politis pribadi?
Hal itu tentu menimbulkan kekhawatiran penulis bila keluarnya pengusulan, pembahasan, serta pengesahan undang-undang yang memiliki tendensi kepentingan oligarki. Bila siklus politik seperti itu terus berjalan di parlemen, lantas untuk apa DPR didirikan. Bukannya rakyat untung, malah buntung.
Untuk meminimalisir siklus buruk yang beredar di parlemen, perlu untuk kita melakukan revolusi mental agar tak gampang dimanipulasi oleh oknum-oknum yang menduduki sebagai wakil rakyat. Revolusi mental sederhana yang bisa kita lakukan ialah dengan melakukan gerakan intelektual kolektif melalui gerakan akar rumput.
Gerakan tersebut bisa diperkuat melalui kontemplasi teori intelektual organik dan intelektual tradisional yang digagas oleh Antonio Gramsci. Secara terminologi intelektual organik ialah suatu aktivitas intelektual yang berhubungan dan muncul dari kelas sosial atau kelompok tertentu.
Sedangkan intelektual tradisional, ialah hasil aktivitas dari intelektual organik yang dimana diluar dari kelas sosial dan kelompok tertentu, seperti para ilmuwan, penulis dan akademis yang tidak terlibat secara langsung dengan perjuangan kelas pekerja (Maulana, 2015).
Menurut penulis, gerakan intelektual yang diejewantahkan oleh rakyat akan menjadi senjata kritis untuk turut serta mengawasi keputusan serta sistem pemerintahan yang berjalan di Indonesia. Bagaimana tidak, segala aktivitas intelektual rakyat akan menjadi senjata kritis mereka untuk menjadi pemilih politik yang rasional. Pemilih politik yang rasional akan memungkinkan rakyat Indonesia memiliki pemimpin yang memang memiliki disertasi keilmuan politik sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu politik.
Jika revolusi mental digaungkan rakyat Indonesia untuk pilihan politik, maka tidak menutup kemungkinan siklus politik di Indonesia akan berorientasi kepada keadilan dan kesejahteraan konstitusi. Dan, juga tidak menutup kemungkinan akan muncul politisi-politisi yang mumpuni dalam kepakaran politik yang tidak hanya mengandalkan modal material dan modal sosial.
Penulis percaya bahwa hanya dengan revolusi mental intelektual dari rakyat Indonesia, hal itu bisa merubah siklus politik yang mengalami stagnasi menjadi eskalasi. Seperti yang dilakukan oleh Munir, Budiman Sujatmiko, Widji Tukul, Marsinah, dsb. Mereka dengan revolusi intelektual yang dilakukan dapat menghegemoni dan memantik sebagian pikiran-pikiran rakyat Indonesia yang kritis dalam merespon peristiwa politik.
Berkaca dari itu, menurut penulis perlu untuk menghidupkan revolusi mental intelektual yang dimulai dari diri kita sendiri agar kritis kepada segala undang-undang yang rezim implementasikan dengan tendensi merusak konstitusi. Karena konstitusi yang sehat, berawal dari akal kritis yang dimiliki rakyat Indonesia.
*Penulis adalah Anggota Bidang HPKP IMM Komisariat Avempace.