Surabaya Waterfront Land (SWL) dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan sebuah kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan atau badan usaha yang mempunyai sifat strategis. PSN ini dalam rangka peningkatan pertumbuhan serta pemerataan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga pembangunan daerah (Sujadi, 2018).

Salah satu landasan atau dasar hukum dari PSN yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang pecepatan pelaksanaan PSN. Surabaya Waterfront Land (SWL) merupakan salah satu PSN yang telah direncanakan. Proyek ini mencakup sekitar pesisir pantai di Surabaya dari area Kenjeran hingga Pantai Timur.

Apabila kita melihat tujuan dari pembangunan SWL ini, tentang bagaimana akan membuat kawasan urban baru, ada beberapa hal yang perlu ditelaah kembali. Salah satunya adalah potensi negatif dari SWL, di mana akan merugikan masyarakat yang awalnya bermukim di kawasan terdampak tersebut.

Meski demikian, proyek ini dianggap sebagai langkah baru yang ingin meniru layaknnya Pantai Indah Kapuk di Jakarta dan juga seperti halnya pesisir Singapura. Artinya, SWL diharapkan bisa difokuskan guna membangun sebuah perpaduan antara bisnis juga hiburan yang mampu melahirkan kawasan elite.

 

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Tentunya bila kita membicarakan terkait SWL, maka juga harus mempertimbangkan apa saja dampaknya. Dalam melihat dampak ini, kita bisa mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan.

Membahas tentang pembangunan berkelanjutan, yang mana hal tersebut merupakan salah satu upaya guna memperbaiki mutu kehidupan dengan tidak melampaui ekosistem pendukung dalam kehidupan.

Saputri et al. (2021) menjelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan ini awal kali tercetus pada tahun 1972 pada konferensi pertama PBB di bidang lingkungan hidup. Saat itu, muncul kekhawatiran global akan kemiskinan yang terus berlarut serta meningkatnya ketidakadilan sosial, dan juga kesadaran bahwa ketersediaan sumber daya alam sudah sangatlah terbatas.

Adapun prinsip dari pembangunan berkelanjutan yakni tiga pilar utama, aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan (Hapsoro dan Bangun, 2020).

Pada dasarnya, hukum atau aturan tentang pembangunan berkelanjutan di Indonesia telah diatur dalam UU No. 32 tahun 2009, khususnya Pasal 1 ayat (3) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan itu menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.

Tiga pilar utama yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan masing-masing saling berkesinambungan. Pertumbuhan ekonomi di sini berperan guna menjaga stabilitas dengan cara merestrukturasi sistem produktif guna penghematan sumber daya dan energi.

Dalam hal keberlanjutan sosial, di sini ditekankan bahwasannya menjamin keadilan sosial dalam distribusi kekayan dan pelayanan sosial. Tentunya ketiga aspek tersebut merupakan kunci atau fundamental guna menciptakan kondisi keberlanjutan atau sustainable itu sendiri.

 

Bagaimana dengan SWL?

Tentu jika kita membahas tentang SWL maka kita pasti akan mempertanyakan kajian terkait apakah proyek ini sudah memenuhi konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri?

Adapun pembangunan berkelanjutan harus mencerminkan bagaimana tindakan yang dilakukannya itu mampu melestarikan alam.

Sebagaimana definisi yang diketahui bahwa bagaimana pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan generasi yang akan datang.

Jika kita melihat apa yang dilakukan dalam reklamasi di SWL ini tentunya kurang memenuhi kaidah dari pembangunan berkelanjutan. Eksploitasi alam berlebihan, tentunya jika kita korelasikan dengan pekerjaan warga sekitar akan berdampak dalam ekonomi mereka pula.

Sebab sebagaian masyarakat di sana berprofesi sebagai nelayan. Dampak dari reklamasi ini nantinya berpotensi mengurangi pemasukan mereka. Karena juga pastinya akan membuat mata pencaharian mereka terganggu dengan adanya kerusakan ekosistem yang terjadi.

Seperti yang kita ketahui SWL ini akan banyak merugikan warga sekitar yang hidup bergantung kepada laut. Maka harus ada upaya dari pemerintah guna melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan kebijakan.

Sehingga nantinya, diharapkan kebijakan itu tidak timpang sebelah dan kebijakan itu juga menguntungkan bagi masyarakat yang selama ini hidup berprofesi sebagai nelayan.


 

*Penulis adalah Sekretaris Umum IMM Komisariat Avempace.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *