Proyek Surabaya Waterfront Land (SWL) dalam Kacamata HAM

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Surabaya Waterfront Land (SWL) merupakan salah satu dari 14 Proyek Strategi Nasional (PSN) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada April 2024. Kawasan SWL dicanangkan akan menjadi hunian elit, pusat bisnis, hiburan, dan wisata dengan mereklamasi (membangun pulau buatan) berjumlah empat di sepanjang Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya).

PSN-SWL sendiri didanai oleh swasta yaitu PT. Granting Jaya dan dianggarkan akan menelan biaya sebesar Rp 72 Triliun dengan wilayah yang mencakup luas 1.084 ha. Wilayah itu terdiri dari 4 blok/pulau dengan rincian Blok A 84 ha, Blok B 120 ha, Blok C 380 ha, dan Blok D 500 ha.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, proyek reklamasi PSN-SWL mendapat penolakan keras dari warga pesisir karena warga merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak adanya transparansi mengenai dokumen-dokumen yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat luas mengenai legitimasi kegiatan reklamasi PSN-SWL tersebut (Disway, 4/8/2024).

Tidak dilibatkannya masyarakat sekitar oleh Pemerintah dan PT. Granting Jaya dalam pengambilan keputusan bersama pihak lainnya yang berkepentingan, secara tidak langsung sebuah bentuk diskriminasi dan pembungkaman terhadap masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan seharusnya dilibatkan dalam pengambilan proses keputusan karena mereka punya hak untuk berpartisipasi untuk menyampaikan pendapatnya.

Berbicara manusia dan ekosistem lingkungan, hierarki keduanya adalah setara. Bahkan bisa dikatakan ekosistem lingkungan berada di atas manusia. Karena sejak ribuan tahun manusia selalu bergantung pada kekayaan lingkungan alam.

Namun realitanya saat ini manusia memposisikan dirinya berada di atas lingkungan. Alih-alih menjaga dan melestarikan, manusia justru secara angkuh mengangkangi dan memperkosa lingkungan demi memuaskan nafsu kepentingannya.

Fenomena pengerusakan lingkungan dan penggusuran atas nama pembangunan semakin marak dilancarkan oleh pemerintah. Pada konteks Reklamasi PSN-SWL, kerusakan ekosistem flora dan fauna menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan. Perlu diketahui, lingkungan dan HAM memiliki keterkaitan karena kerusakan lingkungan dapat berdampak serius terhadap kualitas HAM.

HAM sendiri merupakan hak yang dimiliki dan melekat pada setiap manusia tanpa memandang suku, ras, agama, dan golongan. HAM wajib dijunjung tinggi oleh manusia dan dilindungi oleh hukum dan negara. Menurut teori Good Governance, HAM menjadi salah satu prinsip yang penting dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik (Disway, 4/8/2024). HAM dalam hukum positif Indonesia telah diatur dalam Pasal 28A hingga 28J UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Terealisasinya reklamasi PSN-SWL tidak akan menjamin adanya kesejahteraan masyarakat pesisir. Justru yang terjadi sebaliknya. Pertama, permukiman pesisir atau kampung-kampung nelayan akan tergusur dan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat yang terdampak selain direlokasi dan berganti pekerjaan. Padahal tanah yang mereka pijak dan rutinitas sehari-hari masyarakat pesisir telah menjadi nilai sosiokultur yang melekat yang kemudian menjadi sebuah budaya dan identitas dari sebuah komunitas tradisional.

Kedua, apabila memang tidak tergusur, masyarakat tetap tidak akan sejahtera. Sebab akan kesulitan mencari nafkah dan berujung akan meninggalkan mata pencahariannya sebagai nelayan dan petani tambak, karena ekosistem laut dan darat telah berubah 180 derajat. Dari kedua penjelasan ini, sama-sama akan berpotensi menghapus nilai sosiokultur yang menjadi identitas dan budaya dari sebuah komunitas tradisional kampung nelayan.

Adanya degradasi kualitas lingkungan juga menjadi keniscayaan yang mengakibatkan bencana alam seperti meningkatnya abrasi, sedimentasi, banjir, longsor (akibat pengerukan pasir untuk reklamasi), serta polusi air dan udara yang akan dirasakan masyarakat sekitar PSN-SWL di kemudian hari.

Tanpa proyek Reklamasi PSN-SWL pun, ekosistem lingkungan telah mengalami degradasi seperti pendangkalan laut dan kerusakan mangrove. Jika proyek tersebut ngotot dijalankan, justru akan memperparah keadaan lingkungan.

Di tengah degradasi kualitas lingkungan, masyarakat saat ini menginginkan sebuah program yang solutif. Bukan malah pemerintah mendatangkan program yang merusak lingkungan dan bertolak belakang dengan upaya pelestarian lingkungan. Apabila ekosistem lingkungan baik flora dan fauna semakin rusak, tentu kehidupan manusia pasti terancam.

Penjabaran-penjabaran di atas tidak sesuai dengan pasal-pasal yang mengatur tentang HAM, seperti pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” maupun Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara Indonesia berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Juga Pasal 28I ayat 3 yang berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” serta Pasal 28A yang berbunyi, “Setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Proyek reklamasi PSN-SWL juga berdampak buruk pada aspek kesehatan akibat adanya potensi polusi air dan udara yang muncul dari konstruksi proyek dan segala macam proses pembangunannya yang dapat mengganggu kesehatan penduduk di kemudian hari.

Padahal hak atas kesehatan juga menjadi bagian dari HAM seperti tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 25 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri, dan keluarganya.

Pemerintah wajib melindungi HAM dari kerusakan lingkungan yang disebabkan pembangunan PSN-SWL dengan cara membatalkan proyek reklamasi tersebut. Karena proyek reklamasi tersebut telah membungkam hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, mengancam hak bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak dihormati identitas budaya dan masyarakat tradisional, serta hak hidup sejahtera lahir dan batin serta hak mempertahankan kehidupannya.

Dari hak-hak yang berpotensi terancam, terdapat hak hidup yang sifatnya esensial dan fundamental yang tidak dapat ditawar. Jika pemerintah membatalkan proyek tersebut, berarti ia telah memenuhi HAM seperti tertuang pada Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi, “Pemerintah wajib bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”


 

*Penulis adalah Sekretaris Bidang HPKP Koorkom UM Surabaya dan Anggota Cendekiawan Institute.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *