Penertiban Pasar Ilegal yang Dilematis

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Pasar tradisional adalah jantung aktivitas ekonomi lokal yang memancarkan kehidupan sejak pagi buta. Di dalamnya, suasana hiruk-pikuk penuh warna menyambut setiap pengunjung.

Deretan lapak pedagang dengan aneka barang dagangan menjadi pemandangan khas. Mulai dari sayur-mayur segar, ikan yang masih menggeliat, hingga bumbu dapur beraroma tajam.

Selain transaksi jual beli, pasar tradisional juga menjadi tempat berkumpulnya para pengepul sayur yang membawa hasil panen langsung dari desa yang tidak bisa ditemukan di kota.

Bagi anak-anak, pasar adalah tempat penuh rasa penasaran. Mereka berlari-lari kecil sambil memperhatikan berbagai benda unik di sekitar. Terkadang, mereka merengek meminta jajanan tradisional seperti kue putu atau klepon.

Tidak hanya sebagai pusat ekonomi, pasar tradisional juga menjadi ruang sosial. Di sini, orang-orang saling bertukar kabar, berbagi cerita, dan mempererat hubungan komunitas. Pasar menjadi simbol kehidupan bersama, di mana kehangatan interaksi manusia terasa nyata di tengah kesibukan sehari-hari.

Dengan segala aktivitas yang terjadi di dalamnya, pasar tradisional bukan hanya tempat berbelanja, tetapi juga cerminan budaya dan kehidupan masyarakat yang penuh dinamika dan keberagaman.

Akan tetapi, keberadaan pasar tradisional di kota besar seperti Surabaya hari ini belum bisa menjadi pasar tradisional sebagaimana mestinya. Terbatasnya ruang dan infrastruktur di beberapa tempat membuat adanya pasar tradisional belum bisa dirasakan oleh masyarakat.

Misalnya di daerah Kelurahan Tembok Dukuh dan sekitarnya, yang belum memiliki lokasi paten terkait keberadaan pasar tradisional. Hal ini didasari pada kurangnya lokasi yang disediakan oleh pemerintah kota tentang penempatan pasar tradisional ini.

Sebetulnya sudah ada lokasi yang disediakan pemerintah kota untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terkait pasar tradisional ini. Namun lokasi yang disediakan kurang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar.

Jumlah lahan yang disediakan dan jumlah pedagang yang berjualan memiliki jumlah perbandingan terbalik, dengan jumlah pedagang yang lebih banyak.

Hal itu juga menyebabkan banyak dari pedagang yang harus berdagang di ruas jalan. Sebenarnya hal itu dilarang karena sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

Penertiban juga sudah dilakukan. Akan tetapi, penertiban ini memiliki sisi dilematis. Karena di sisi lain penertiban ini memiliki beban moral dari sisi pihak penertib. Pedagang yang berdagang di sisi jalan tidak mendapatkan tempat yang disediakan.

Dikarenakan juga tempat yang disediakan sangatlah terbatas maka dari itu para pedagang ini juga sangat terpaksa untuk berjualan di pinggir jalan raya. Para pedagang ini juga sadar bahwa apa yang dilakukannya ini jelas menyalahi aturan. Namun apabila mereka tidak berdagang, maka tidak bisa menghidupi keluarga mereka.

Penertib yang dalam kasus ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja atau yang biasa disebut Satpol PP juga memiliki tanggungan penertiban jalan, karena jalan yang digunakan merupakan jalanan umum yang banyak dilewati oleh masyarakat.

Namun di sisi lain, masyarakat juga membutuhkan adanya pasar tradisional ini. Apabila pasar tradisional ini tidak beroperasi, maka roda perputaran ekonomi yang ada di sekitar Jalan Tembok Dukuh tidak akan berputar.

Masyarakat akan kesulitan dalam membeli kebutuhan pangan. Namun apabila tidak ditertibkan, maka juga akan menimbulkan kemacetan di satu sisi ruas jalan yang dimana ini dapat menimbulkan ketidaknyaman bagi pengguna jalan, pedagang, dan juga Satpol PP sebagai petugas penertib.

Di balik dilematis yang terjadi antara pedagang demi mengais rezeki dan Satpol PP yang berusaha menertibkan jalan demi kenyamanan para pengguna jalan. Maka diperlukan pengambilan keputusan yang menguntungkan satu sama lain.

Keputusan yang win-win solution, dibuat harus menguntungkan dari pihak pedagang pasar tradisional dan juga dari pihak Satpol PP, bahkan masyarakat.

Keputusan itu tidak memberatkan pihak pedagang, yang dimana para pedagang bisa tetap berdagang dan bisa mengais rezeki. Petugas Satpol PP yang berusaha menertibkan jalan juga tetap bisa melakukan tugasnya agar pengguna jalan yang lain tetap bisa menggunakan jalan sebagaimana mestinya.

Maka, mungkin solusi tepat yang bisa menyelesaikan konflik dilematis ini adalah dengan membuat kesepakatan. Jalan Tembok Dukuh umumnya mulai ramai dengan pengguna kendaraan bermotor dan para pengguna jalan lainnya pada jam setengah tujuh pagi dan mulai mereda di sekitaran jam sembilan pagi.

Sedangkan di jam-jam sebelum jam setengah tujuh pagi, intensitas kepadatan pengguna jalan di sana tidak terlalu padat dan bisa di antisipasi dengan pemadatan di satu jalur.

Mengingat di jalan tersebut menggunakan dua jalur, maka di jam-jam sebelum kepadatan lalu lintas terjadi perlu dilakukan pemadatan jalan dengan menggunakan satu jalur, dipadatkan dengan menjadi dua jalur.

Dan, satu ruas lainnya digunakan sebagai tempat pasar tradisional sementara sampai jam-jam padat pengguna jalan. Dan, apabila sudah memasuki jam-jam padat pengguna jalan, peran Satpol PP sebagai penertib mulai dijalankan.

Satpol PP mengambil peran di momen-momen seperti ini sebagai penertib, demi terciptanya ketertiban di jalan dan terciptanya kenyamanan bagi semua pengguna jalan.

Apabila sudah memasuki jam-jam padat pengguna jalan, para pedagang di pasar tradisional ini hendaknya mengemasi dagangannya demi terciptanya kenyamanan bagi sesama pengguna jalan yang lain.

Lalu, apabila ada pedagang yang melanggar tentang kesepakatan ini dan ada oknum Satpol PP yang melakukan penertiban di luar waktu yang telah disepakati, maka perlu penguatan integritas di dua pihak agar terciptanya kestabilan dan kenyamanan untuk semua.


 

*Penulis adalah Anggota Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Avempace.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *