Pernahkah kamu memiliki keinginan untuk berafiliasi dengan individu yang sengsara ketika kamu merasa sedih? Atau pernahkah kamu merasa nyaman dan lega ketika mengetahui bahwa orang lain juga mengalami perasaan yang serupa? Fenomena ini sering disebut sebagai misery loves company, suatu kondisi ketika individu memiliki kecenderungan untuk memiliki hubungan dengan individu yang sengsara ketika ia sedang merasa kesulitan.
Hal itu terjadi karena individu merasa penderitaan yang dirasakan akan lebih mudah untuk ditanggung jika penderitaan tersebut juga dialami oleh orang lain (Farrow et al., 2021). Beragam penelitian telah membuktikan bahwa kesedihan dapat memicu kecenderungan akan respon perhatian, kognitif, dan perilaku yang dapat memperkuat ikatan sosial, seperti keinginan untuk berafiliasi dengan orang lain (Gray et al., 2011).
Penelitian sebelumnya telah mengindikasikan bahwa kesedihan, dalam kondisi tertentu, dapat memengaruhi perilaku dan pemikiran seseorang sehingga mendorong terbentuknya ikatan sosial (Gray et al., 2011). Sebuah studi yang dilakukan oleh Schachter (1959) dalam Farrow et al., (2021) membuktikan bahwa tingginya tingkat kecemasan juga berhubungan dengan meningkatnya motivasi untuk berafiliasi, terutama pada perempuan.
Hal semacam ini terjadi karena ketika sedang berada di situasi yang membuat kita merasa cemas. Kehadiran orang lain dengan keadaan yang sama dapat membantu kita untuk mengevaluasi apakah kita telah bertindak dengan tepat. Dengan melakukan perbandingan antara diri kita dan orang lain, kita dapat menguji serta memvalidasi keyakinan pribadi dan respons emosional diri (Gazzaniga et al., 2016).
Menurut Branscombe & Baron (2017), keinginan untuk berafiliasi tersebut juga dapat terjadi karena adanya keinginan individu untuk berada bersama dengan orang lain, berkomunikasi tentang situasi yang sedang terjadi, membandingkan persepsi, dan membuat keputusan tentang tindakan yang harus diambil.
Fenomena misery loves company dapat dikaji melalui social comparison theory atau teori perbandingan sosial. Teori perbandingan sosial menyatakan bahwa individu membandingkan dirinya dengan orang lain ketika mereka membutuhkan standar eksternal untuk menilai kemampuan dan pendapat mereka (Festinger, 1954 dalam White et al., 2006).
Terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa fenomena ini mungkin terjadi. Seperti keinginan untuk mencari informasi tentang ancaman, anggapan bahwa pemberian informasi sosial merupakan strategi efektif untuk mengatasi penurunan tingkat kesejahteraan, dan sebagai sarana untuk meredakan perasaan kecewa (Farrow et al., 2021). Beragam alasan tersebut telah memperkuat anggapan luas yang beredar bahwa misery truly do loves miserable company.
Penelitian telah menunjukkan bahwa individu cenderung akan merasa lebih baik ketika menganggap keadaan mereka lebih baik dibandingkan dengan individu serupa atau downward comparison (White et al., 2005). Keadaan ini dapat mengarah pada perasaan positif yang lebih tinggi. Sebaliknya, individu akan cenderung merasa lebih buruk ketika menganggap kondisi mereka lebih buruk daripada individu serupa atau biasa dikenal dengan upward comparison yang dapat berdampak pada munculnya perasaan negatif pada individu terkait (White et al., 2005).
Perilaku membandingkan diri sendiri dengan orang lain merupakan perilaku yang kerap ditemui fenomenanya di dunia nyata. Padahal faktanya, melakukan perbandingan terhadap individu lain saat sedang berada dalam kondisi negatif tidak hanya dapat memberikan dampak positif, tetapi juga dapat mengarah pada suatu hal buruk yang perlu dihindari.
Dukungan emosional dari individu lain dapat memberikan dampak positif yang signifikan pada kesejahteraan emosional. Dukungan emosional dapat mengurangi keadaan psikologis yang tidak menyenangkan, seperti depresi, rasa panik, dan perasaan putus asa (Cox et al., 2015). Selain itu, keyakinan individu bahwa dirinya adalah suatu entitas yang penting dan diperhatikan orang lain, yang dapat didapat melalui dukungan emosional, memiliki korelasi yang kuat dengan kesejahteraan psikologis individu (Cox et al., 2015).
Dampak positif dari dukungan sosial juga dapat dilihat melalui teori buffering hypothesis. Teori ini menyatakan bahwa dukungan emosional dari individu lain dapat membantu penerimanya mengatasi peristiwa stres (Cohen & Wills, 1985 dalam Gazzaniga et al., 2016).
Akan tetapi, perlu diingat bahwa perlu ada batasan yang harus kita jaga dalam proses mencari kehangatan serta kenyamanan kepada individu yang merasakan hal yang sama dengan kita. Dalam proses mencari dukungan sosial, penting untuk memastikan tidak adanya interaksi yang bersifat negatif dalam hubungan tersebut. Cox et al., (2015) mengungkapkan bahwa interaksi yang bersifat negatif dapat mengakibatkan penurunan kesejahteraan emosional, tingkat kepuasan hidup yang rendah, kurangnya afeksi positif, dan peningkatan tekanan psikologis.
Studi yang dilakukan oleh Lyubomirsky & Ross (1998) juga menemukan bahwa individu yang tidak bahagia akan terus melakukan perbandingan sosial yang dapat berdampak pada penurunan rasa harga diri dan suasana hati yang buruk, yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada tingkat ketidakbahagiaan yang lebih besar pula.
Individu yang kerap melakukan perbandingan sosial juga lebih rentan untuk bergantung pada sumber eksternal sebagai penentu harga diri mereka (White et al., 2006). Maka dari itu, perlu adanya batasan dalam melakukan perbandingan sosial. Kecenderungan melakukan perbandingan sosial yang negatif secara terus menerus dapat memicu rangkaian emosi dan perilaku yang berpotensi merugikan diri sendiri, menurunkan kesejahteraan pribadi, serta rusaknya hubungan antarpribadi antarkelompok (White et al., 2006).
Perbandingan sosial juga perlu dihindari karena individu yang tidak bahagia cenderung lebih sensitif terhadap perbandingan sosial yang negatif pula (Lyubomirsky & Ross, 1998). Selain itu, studi yang dilakukan oleh White et al., (2006) juga menemukan bahwa individu yang sering melakukan perbandingan sosial akan lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami emosi dan perilaku yang lebih destruktif.
Oleh karena itu, jelas bahwa perilaku mencari kehangatan serta dukungan sosial dari lingkungan sekitar dapat memberikan keuntungan bagi individu. Namun, perlu diingat bahwa perlu ada batasan dalam melakukan hal ini. Jangan sampai perilaku ini justru menjadi bumerang dengan merugikan diri sendiri.
Perilaku mencintai diri sendiri dan kemampuan regulasi diri yang baik juga sangatlah penting untuk mengatasi hambatan saat sedang mengalami kesulitan. Kedua hal ini penting dilakukan sebagai upaya individu untuk memastikan bahwa hubungan yang terjadi dengan individu lain bersifat positif dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi kedua belah pihak.
*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi IMM Komisariat Allende Periode 2022-2023.