Juru Parkir Liar: Mencari Keadilan di Tengah Ketidakpastian Hidup

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Muhammad Habib Muzaki)

 

Juru parkir liar telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan perkotaan di banyak wilayah, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Mereka umumnya beroperasi di luar sistem resmi yang ditetapkan pemerintah, mengatur parkir kendaraan di area publik, dan memungut biaya tanpa izin resmi.

Dalam kacamata hukum, tindakan ini jelas melanggar peraturan pemerintah daerah (perda) yang mengatur tata kelola parkir. Namun, apakah persoalan ini hanya sebatas pelanggaran hukum, ataukah ada aspek lain yang perlu kita perhatikan?

Fenomena juru parkir liar adalah isu yang kompleks dan multidimensional. Di satu sisi, mereka merusak upaya pemerintah untuk menata kawasan perkotaan yang tertib dan aman. Di sisi lain, keberadaan mereka mencerminkan kondisi sosial dan ekonomi yang tidak seimbang, di mana kelompok-kelompok marginal terpaksa mencari penghasilan dari pekerjaan informal karena terbatasnya akses ke pekerjaan yang lebih stabil dan diakui secara legal.

 

Pelanggaran Terhadap Regulasi Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah biasanya menetapkan aturan dan zona-zona parkir resmi di area publik. Pengelolaan parkir ini diatur dengan retribusi yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan ruang publik serta sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun, juru parkir liar yang beroperasi tanpa izin resmi dapat mengurangi pendapatan pemerintah dari sektor parkir. Ini berdampak pada pendanaan pembangunan infrastruktur publik yang bergantung pada PAD, termasuk infrastruktur jalan dan fasilitas parkir yang lebih baik.

Selain itu, juru parkir liar sering kali tidak memberikan jaminan keamanan bagi kendaraan yang mereka atur. Beberapa kasus pencurian atau kerusakan kendaraan di lokasi parkir liar menjadi perhatian penting karena mereka tidak memiliki standar layanan sebagaimana yang diatur dalam sistem parkir resmi.

Penelitian tentang pengelolaan ruang parkir di kota-kota besar menunjukkan bahwa pengelolaan parkir liar juga meningkatkan risiko kemacetan dan kecelakaan lalu lintas akibat tidak adanya pengaturan yang jelas dan terukur di lokasi tersebut (Efendi et al., 2020).

Secara hukum, keberadaan mereka melanggar perda yang telah dibuat untuk mengatur lalu lintas dan parkir. Pemerintah daerah berusaha untuk menerapkan aturan ini melalui tindakan penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP dan instansi terkait. Namun, langkah-langkah penertiban ini sering kali menghadapi perlawanan dari para juru parkir liar, yang tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan penghasilan.

 

Dimensi Sosial dan Ekonomi: Bertahan Hidup di Tengah Ketidakpastian

Meskipun juru parkir liar dianggap melanggar hukum, kita tidak dapat memandang mereka sebagai pelaku kejahatan semata. Sebagian besar dari mereka datang dari latar belakang sosial ekonomi yang sulit. Pekerjaan sebagai juru parkir liar sering kali menjadi jalan terakhir untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam konteks ini, sektor informal, termasuk juru parkir liar, merupakan bentuk adaptasi masyarakat terhadap minimnya kesempatan kerja formal.

Berdasarkan penelitian tentang ekonomi informal, individu yang bekerja di sektor ini biasanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan keterampilan yang terbatas, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing di pasar kerja formal yang semakin kompetitif (Rahmadhania, 2013). Sektor informal, termasuk pekerjaan sebagai juru parkir liar, menjadi alternatif bagi mereka yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.

Lebih jauh, kondisi ini diperburuk oleh ketidakmampuan mereka untuk mengakses program-program sosial dan ekonomi yang disediakan pemerintah. Misalnya, akses ke pendidikan dan pelatihan keterampilan yang dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak sering kali terbatas. Oleh karena itu, menjadi juru parkir liar adalah bentuk upaya bertahan hidup yang dipilih karena tidak ada pilihan yang lebih baik.

Dalam perspektif ini, masalah juru parkir liar bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan refleksi dari ketimpangan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Upaya penertiban yang bersifat represif, tanpa disertai dengan solusi ekonomi yang memadai, hanya akan memperburuk masalah. Sebagai manusia, mereka berhak untuk mencari nafkah demi keluarganya. Tindakan represif tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi hanya akan melahirkan konflik dan memperparah masalah kemiskinan.

 

Sudut Pandang Agama: Kewajiban untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga

Jika dilihat dari sudut pandang agama, masalah juru parkir liar bisa dipandang dari perspektif tanggung jawab moral dan sosial. Dalam Islam, misalnya, mencari nafkah untuk keluarga adalah salah satu kewajiban yang sangat ditekankan. Seorang kepala keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seperti sandang, pangan, dan papan.

Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233, Allah Swt berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”

Namun, Islam juga menekankan pentingnya mengikuti aturan yang berlaku dalam masyarakat. Melanggar hukum atau mengambil hak orang lain tanpa izin adalah sesuatu yang dilarang. Dalam hal ini, juru parkir liar yang mengambil alih ruang publik tanpa izin dan memungut biaya parkir yang tidak resmi dapat dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan.

Di satu sisi, agama memberikan toleransi terhadap mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi dan mencari nafkah dengan cara-cara yang mungkin tidak ideal. Namun, di sisi lain, ada kewajiban moral untuk tetap berusaha menjalankan kehidupan sesuai dengan aturan yang ada, dengan mencari solusi yang tidak melanggar hukum dan hak orang lain.

 

Memahami dan Merespons Fenomena Juru Parkir Liar

Pada akhirnya, persoalan juru parkir liar bukan hanya tentang pelanggaran hukum, melainkan juga tentang dinamika sosial dan ekonomi yang lebih luas. Mereka berada di persimpangan antara kebutuhan untuk bertahan hidup dan tuntutan untuk mengikuti aturan yang ada. Langkah-langkah represif semata terhadap mereka mungkin tidak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Fenomena ini menuntut adanya kebijakan yang lebih inklusif dan solutif.

Namun, pertanyaan penting yang perlu kita renungkan adalah: Bagaimana kita dapat menciptakan keseimbangan antara penegakan hukum yang adil dan pemberian kesempatan ekonomi yang layak bagi mereka yang berada di sektor informal? Apakah tindakan penertiban semata cukup, atau kita perlu memikirkan kembali pendekatan yang lebih humanis dan berkelanjutan untuk menyelesaikan masalah ini?


 

*Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin FIAD.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *