Diskursus mengenai ide dan gagasan Kuntowijoyo selalu menarik dibaca, bahkan makin relevan jika dihadapkan dengan realitas hari ini. Di samping mampu mengupas mendalam isu-isu dan problematika umat Islam, Kuntowijoyo juga menawarkan metodologinya sebagai solusi pemecah masalahnya.
Pesatnya arus modernitas mengakibatkan umat Islam terombang-ambing dalam kebimbangan menghadapi zaman sekaligus menentukan sikapnya. Diskursus mengenai hubungan antara Islam, Ilmu dan modernitas menjadi bahasan yang tak lekang habis dari generasi ke generasinya.
Dalam bukunya Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (2004), Kuntowijoyo menyoroti degradasi ilmu dalam tubuh umat Islam dan kegagapan ulama dalam membaca zaman sebagai sebab mundurnya Islam hari ini.
Di satu sisi disebabkan karena salahnya umat Islam memaknai ilmu. Di sisi lain juga karena kebingungan sikap yang terjadi di berbagai kelompok umat Islam yang menjadi terpetak-petakkan dalam merespon modernitas yang datang. Maka umat Islam dituntut mencoba mencari alternatif sebagai upaya memecah kemandekan Islam hari ini agar sesuai dengan perubahan zaman.
Paradigma Qur’an
Bagi Kuntowijoyo, Islam itu harus menjadi ilmu. Kuntowijoyo menggagas “Pengilmuan Islam” melalui paradigma Al-Qur’an. Paradigma Al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya (Kuntowijoyo, 2008). Dapat dibahasakan sederhana sebagai cara berpikir sesuai Al-Qur’an.
Bagi Kuntowijoyo, sebagaimana Thomas Kuhn, untuk memahami realitas diperlukan paradigma. Pengetahuan atas realitas tidak bisa dilepas dari paradigma (mode of tought/cara mengetahui) tertentu.
Oleh karenanya, paradigma Al-Qur’an penting dimaksudkan agar seorang muslim mampu memandang dan menilai realitas di sekelilingnya sesuai perspektif Al-Qur’an. Akan tetapi, dalam menyusun sebuah paradigma yang utuh diperlukan perumusan konsep di dalam Al-Qur’an menjadi teori-teori yang untuk perumusan ilmu yang sampai di tingkat empiris dan sebagai pijakan kebijakan-kebijakan yang aktual.
Ilmu Sosial Profetik
Salah satu upaya Kuntowijoyo dalam teorisasi Al-Qur’an adalah teori “Ilmu Sosial Profetik”. Berangkat dari Q.S. Ali-Imran ayat 110, ia merumuskan bahwa Al-Qur’an mencita-citakan adanya transformasi (perubahan ke arah yang lebih baik) masyarakat menuju khayrul ummah. Agar cita-cita tersebut tergapai, haruslah memenuhi tiga unsur sebagai syaratnya: amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), tu’minuna billah (transendensi).
Konsep perubahan sosial ternyata jauh-jauh hari dikonstruksikan oleh Al-Qur’an. Akan tetapi, sedikit sekali yang mampu menangkap substansinya lalu mengembangkannya menjadi kerangka teori yang ilmiah.
Kebutuhan akan teori ilmiah bagi Kuntowijoyo sangat penting. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhah ilmu pengetahuan. Tujuannya tentu dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia. Terkhusus menjawab tantangan zaman dan sejalan dengan semangat zaman (zeitgeist).
Sebab dengan cara yang sama, ilmu modern di barat mampu beradaptasi dan berkembang pesat juga melalui tahapan teorisasi terlebih dahulu. Yakni melalui paham-paham filosofis yang diteorisasikan menjadi ilmu-ilmu empiris dan rasional yang diakumulasikan, sehingga membentuk sebuah paradigma yang utuh. Seperti halnya teori-teori marxian maupun Durkheim yang membentuk paradigma ilmu sosial di Barat.
Kelebihan umat Islam dibanding peradaban yang sekuler adalah karena umat ini mempunyai wahyu. Fungsi wahyu selain sebagai pedoman (huda), bukti yang jelas (burhan), dan pembeda umat lain (furqan), juga sebagai landasan filosofis. Maka dengan adanya landasan ini, konsep-konsep di dalamnya perlu dikembangkan menjadi teori untuk mewujudkan misi profetiknya, yakni membangun peradaban.
Integralisasi dan Objektifikasi
Eksperimen dan pengembangan ilmu pengetahuan melalui paradigma Al-Qur’an tentu akan memperkaya khazanah ilmu umat manusia. Menurut Kuntowijoyo, Ilmu yang dihasilkan umat Islam adalah untuk kepentingan kemanusiaan luas, bukannya menjadi mutlak harus diakui sebagai milik muslim semata (eksklusif).
Paradigma Islam baginya justru bersifat terbuka. Artinya, bahwa semua warisan ilmu pengetahuan yang pernah dilahirkan peradaban lain juga bisa dipinjam dan menjadi warisan Islam. Pun sebaliknya, ilmu yang dihasilkan umat Islam juga mesti disumbangkan untuk pengembangan khazanah keilmuan umat manusia.
Hal ini pernah dicontohkan intelektual muslim di zaman kekhalifahan Baghdad dulu. Mereka tidak anti memakai ilmu hasil peradaban Yunani, lebih-lebih mengembangkannya. Lalu ilmu yang berhasil dicetuskan umat Islam juga akan secara terang-terangan dipakai untuk kemaslahatan umat manusia. Hal ini senada dengan konsep Islam yang rahmatan lil alamin.
Menurut Kuntowijoyo, hal ini dikarenakan agama memberikan ruang bagi manusia untuk mengembangkan ilmu. Ilmu tidak sekedar bersumber dari wahyu. Fungsi kecerdasan manusia juga bisa dianggap sebagai sumber pengetahuan tanpa meminggirkan wahyu, dengan kata lain teoantroposentris, yakni menggabungkan wahyu Tuhan dan pikiran manusia. Bukan sebagai sekuleris ekstrimis atau bahkan beragama yang radikal.
Dan ilmu semestinya objektif, dapat diterima manfaatnya oleh tiap golongan manusia. Dengan demikian, tugas umat Islam ialah menjadikan ilmu di dalam Islam menjadi objektif (objektifikasi). Al-Qur’an dan hadits sebagai wahyu yang berisi nash-nash normatif haruslah diobjetifikasikan atau dikontekstualisasikan pada realitas (teks > konteks). Diperlukan ijtihad kolektif agar teks wahyu bisa berkembang terhadap perubahan zaman.
Banyak konsep Al-Qur’an yang bisa dikembangkan. Ambil contoh prinsip musyawarah, kepemimpinan, pendidikan, dll yang bisa dirasakan manfaatnya untuk seluruh manusia. Oleh karenanya kebutuhan untuk menggali, dan mengembangkan Islam sebagai teori sangat dibutuhkan. Agar umat Islam tidak terkena bias ilmu dari Barat yang sekularistik, juga umat akan memiliki pegangan yang kokoh karena bersumber dari kitab sucinya.
Kuntowijoyo sebagai seorang pakar sejarah, sastrawan, dan cendekiawan mampu membuktikan bahwasanya upaya memajukan khazanah ilmiah peradaban Islam tidak selalu terkhusus untuk seorang agamawan atau kyai saja. Beliau sebagai seorang ilmuwan mencontohkan bahwa dari bidang apa saja harusnya sanggup membantu memelopori kemajuan ilmu Islam.
Sebagaimana semangat Kuntowijoyo dalam mengembangkan ilmu Islam, sepatutnya kita mampu ber-istifadah dengan meneruskan perjuangan beliau, menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran dan gagasan beliau, sebagai bentuk penghormatan dan hadiah kepada beliau atas ilmunya yang jariyah.
Sebagai seorang sejarawan salah satu ungkapannya yang cukup terkenal adalah, “Dengan membaca sejarah, kita belajar jatuh cinta”. Dari seorang diri, penulis ingin membalas, “Dengan membaca Kuntowijoyo, kita lebih mengerti arti cinta.”
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq Periode 2023-2024 dan Anggota Cendekiawan Institute.