Indonesia Darurat: Antara Ambisi dan Ilusi?

Ilustrasi diedit menggunakan Canva. (Immsby.or.id/Rafif Burhanuddin M

 

“…Tikus-tikus tak kenal kenyang
Rakus, rakus, bukan kepalang
Otak tikus memang bukan otak udang
Kucing datang tikus menghilang…”

– Iwan Fals Tikus-Tikus Berdasi

 

Adil, makmur, sejahtera, kaya, nyaman adalah beberapa kata yang mungkin bisa menggambarkan bagaimana situasi dari negara-negara maju. Begitu nikmat bukan. Tapi, sulitnya minta ampun untuk mewujudkannya terutama di negeri sendiri.

Indonesia emas 2045, katanya. Sebuah ambisi dan visi yang besar untuk menjadi negara maju. Namun, per hari ini tampaknya usaha yang dilakukan masih nol besar dan tidak sebanding dengan apa yang telah dicita-citakan.

Apakah menjadikan Indonesia sebagai negara maju adalah sesuatu yang mustahil diwujudkan? Semoga saja bukan, sebab penulis ingin negeri ini menjadi negara yang kaya dan sejahtera bagi setiap masyarakatnya.

Syahdan, negeri ini nyatanya masih terombang-ambing dan tidak jelas mau dibawa ke mana. Apalagi, banyaknya kasus-kasus yang amoral semakin membuat penulis ragu bahwa negeri ini sedang baik-baik saja. Negeri ini seolah-olah telah kehilangan nilai-nilai luhurnya.

Kasus pemerkosaan, kekerasan, perundungan, pembunuhan, korupsi, kolusi, nepotisme hampir selalu menghiasi setiap layar kaca. Di setiap akhir pekan tak henti-hentinya disajikan beragam kasus-kasus amoral baru yang semakin hari semakin menggila.

Berita terbaru, terjadi kasus perampokan yang berujung pada pembunuhan kepada salah satu keluarga. Minggu lalu pun kita disajikan dengan kasus pemerkosaan yang berujung pada pembunuhan seorang gadis belia penjual gorengan.

Beberapa minggu yang lalu lagi, anak-anak di bawah umur melakukan pemerkosaan yang juga berujung pada pembunuhan. Dan anehnya, sang pelaku seakan-akan tidak merasa bersalah.

Dasar manusia-manusia sagapung gila. Yang mereka pikirkan hanyalah nafsu dan berhubungan badan saja. Memang itulah realitanya, bahkan generasi muda pun sudah mampu melakukan hal keji yang sangat tidak manusiawi.

Ingat gadis penjual gorengan yang penulis sebutkan tadi? Ya, beliau berjualan gorengan keliling, mengumpulkan uang demi pendidikan adiknya. Eh, ada iblis yang ber-skin manusia yang lagi sagapung melakukan perbuatan asusila ketika beliau lagi berjualan, kemudian dibunuh. Sungguh malang nasibmu, Nak. Tempat terbaik untukmu di sisi-Nya, Aamiin.

Miris bukan? Dan ini bukan hal yang langka. Coba telusuri sejenak di internet, banyak sekali kasus-kasus pemerkosaan yang pelakunya tidak memandang umur, profesi maupun jenis kelamin.

Mulai dari guru, ustaz, bahkan anak kecil yang kelihatannya masih lugu menjadi tersangka dalam beberapa kasus pemerkosaan. Entahlah, penulis hanya kian merasa bahwa dunia terutama di Indonesia sudah semakin benar-benar gila.

Asumsi penulis, barangkali kemudahan akses informasi atau smartphone yang sudah diberikan kepada sebagian besar anak sejak masih belia menjadi salah satu penyebab berkembangnya perbuatan-perbuatan amoral tersebut. Konten sensitif yang bertebaran di media sosial ditambah penggunaan gawai tanpa pengawasan orang tua semakin memudahkan pengaruh-pengaruh negatif masuk ke dalam pikiran generasi muda dengan begitu mudahnya.

Selain itu, anak-anak sendiri juga cenderung meniru apa yang mereka lihat. Dalam Bandura dkk. (1961) juga telah dijelaskan bahwasannya anak-anak cenderung akan lebih bersikap agresif ketika melihat perilaku di sekitarnya juga demikian. Mungkin dengan konsumsi informasi dari sosial media yang tidak dikontrol oleh orang tua, lama kelamaan mereka akan menemukan berbagai macam konten yang tidak senonoh yang berakhir pada meniru perilaku tersebut. Karena pada hakikatnya anak-anak akan meniru apa yang mereka lihat.

Oke, kali ini mari melangkah untuk melihat sisi gelap lainnya. Barusan saya membaca beberapa tweet yang di-capture kemudian diunggah oleh Ferry Irwandi. Dalam beberapa tweet tersebut, mereka menjelaskan bahwa kondisi pendidikan Indonesia benar-benar berada dalam level yang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana mungkin seorang siswa SMP masih belum bisa membaca? Bagaimana mungkin siswa tidak paham matematika sederhana? Pasti ada yang salah.

Sistem pendidikan Indonesia saat ini menurut penulis begitu rusak. Tanpa ada ujian nasional, tanpa tinggal kelas alias harus naik kelas meski tidak pernah masuk. Hal tersebut secara tidak langsung–atau bahkan dengan sengaja–membuat mereka justru menjadi malas dan kehilangan motivasi untuk belajar.

Hasilnya, skor Programme for International Student Assessment (PISA) turun, kualitas sumber daya manusia menurun, tidak terpenuhinya kualifikasi tenaga kerja dan berakhir dengan menjadi pengangguran.

Oke, selanjutnya adalah masalah ketimpangan atau tidak meratanya kualitas pendidikan. Menurut Mas C (nama disamarankan) yang merupakan salah satu mahasiswa yang berasal dari tanah Papua, beliau menuturkan tentang kondisi Pendidikan di daerahnya tersebut yang sangat memprihatinkan.

‘kakak saya kepala sekolah, tapi sekarang sekolahnya lagi kekurangan guru, hanya ada 4 guru (termasuk kepsek) buat mengajar 6 kelas, belum lagi masalah biaya operasional.’

Beliau juga menuturkan ketika saya tanya tentang kurikulum atau kualitas pembelajaran;

‘saya belum merasakan kurikulum K-13, padahal di Jawa sudah diterapkan sejak lama’

Dari dua pernyataan singkat beliau, penulis mengambil kesimpulan bahwa disamping sistem pendidikannya yang amburadul ada masalah lain yaitu pemerataan kualitas pendidikan. Saat ini kualitas pendidikan masih jawa sentris.

Itu baru problem-problem yang terjadi di kalangan masyarakat. Belum lagi para kaum elit yang semakin hari semakin sibuk menggemukkan perutnya sendiri sembari menutup telinga dan mata atas segala penderitaan masyarakatnya sendiri.

Para pengusaha yang merusak alam demi memperkaya dirinya sendiri, dan para penguasa yang terlalu akrab dengan gemerlap dunia, kental akan KKN dan praktik-praktik penyelewengan lainnya. Lagi-lagi penulis merasa kebingungan, sebenarnya mau dibawah ke mana Indonesia sekarang.

Pada dasarnya membangun negara membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Pemerintah mengatur undang-undang yang menguntungkan rakyatnya, sementara rakyatnya berjuang meningkatkan value mereka untuk bisa berkembang dan bekerjasama untuk membangun negara. Menurut penulis, Indonesia belum siap menuju Indonesia emas 2045.

Bagi penulis, perihal generasi emas, Indonesia bisa mencontoh Vietnam. Vietnam adalah generasi emas yang sebenarnya dengan pendidikan yang merata, ekonomi bertumbuh, industri manufaktur berjalan, kualitas sumber daya manusia meningkat, pemerintahan yang cukup stabil, dan berita terakhirnya mereka mendapatkan investasi dari pihak Apple dengan jumlah yang fantastis.

Indonesia adalah bangsa besar –dan terlalu besar kepala atas kebesarannya. Kita adalah katak dalam tempurung yang terlena akan pujian semut yang tidak berdaya. Hingga tiba saatnya, kita lupa. Bahwa kita hidup hanya untuk pujian para semut.


 

*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *