Dalam budaya digital masa kini, konten kreator sering kali melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian dan mendapatkan pengakuan. Salah satu cara yang kerap dilakukan dalam hal ini adalah dengan perilaku yang tidak lazim atau sensasional, yakni perubahan identitas gender atau tasyabbuh.
Akhir-akhir ini, Fenomena yang sering muncul di media sosial adalah seorang laki-laki yang berperilaku atau berpenampilan layaknya perempuan. Misalnya, seorang laki-laki mengenakan pakaian, aksesori, atau menggunakan gaya bicara perempuan. Hal ini tentunya bertentangan dengan fitrah dan norma agama Islam yang melarang laki-laki menyerupai perempuan maupun yang sebaliknya.
Beberapa agama memiliki pandangan yang tegas tentang peran dan ekspresi gender sebagai bagian dari tatanan sosial yang lebih besar. Dalam pandangan agama Islam sendiri misalnya, larangan bagi laki-laki untuk berperilaku atau berpakaian layaknya perempuan diatur dalam berbagai teks keagamaan, termasuk hadis dan pendapat ulama.
Hal ini didasarkan pada ajaran Isam bahwa perilaku menyerupai lawan jenis (tasyabbuh) seperti ini dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari fitrah atau sifat alami manusia, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa dalil hukum Islam (Dewantara et al., 2023). Seperti dalam surah An-Nisa [4]: 32, yang berbunyi:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْاۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَۗ وَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang lebih diberikan Allah kepada sebagian kamu daripada sebagian yang lain. Untuk laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan untuk perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Maka berdoalah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini mengingatkan kita akan perbedaan peran yang diberikan Allah antara laki-laki dan perempuan, yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah mereka. Adapun dalil lain sebagai pelengkap dan penegas terkait fenomena di atas berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki.” (HR. al-Bukhari no. 5885-5886). Hadis ini dengan tegas melarang perilaku meniru peran atau identitas gender yang tidak sesuai dengan kodratnya.
Fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu tetapi juga membawa dampak sosial yang lebih luas. Dalam konteks agama, perilaku yang bertentangan dengan norma gender bisa memicu disorientasi nilai bagi generasi muda yang sedang mencari identitas.
Pasalnya, fenomena di atas dapat pula menjadi sarana aksi propaganda LGBT apalagi di Indonesia juga masih belum ada hukum yang melarang hal tersebut secara tegas (Ni’ami, 2021). Dalam konteks ini, paradigma agama kiranya dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatur fenomena tasyabbuh di media sosial guna dapat menjaga harmoni sosial.
Kaitannya dalam hal ini, perilaku laki-laki yang sengaja memerankan gaya keperempuanan untuk kepentingan pribadi bisa dilihat sebagai tindakan yang tidak hanya mengesampingkan nilai-nilai spiritual, tetapi juga menodai esensi peran gender yang dihormati dalam banyak agama. Alhasil, perilaku tersebut bagi penulis pun dapat mengganggu harmonisasi sosial dan kehidupan keagamaan.
Di Indonesia sendiri, seringkali perilaku tasyabbuh yang makin marak di media sosial dikaitkan dengan kebebasan berekspresi. Padahal, kebebasan berekspresi yang berlaku di Indonesia juga memiliki batasannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya dan norma agama pun termasuk di dalamnya (Maharani et al., 2023).
Kendati kebebasan berekspresi adalah hak setiap individu, tetapi penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai keagamaan yang mendasari perilaku di masyarakat. Tindakan yang sengaja melanggar norma agama demi popularitas pribadi dapat memicu respons negatif dan merusak tatanan sosial yang didasarkan pada moralitas agama. Bagi sarjana agama, fenomena ini seharusnya menjadi kesempatan untuk menguatkan edukasi agama dan menegakkan nilai-nilai tradisional yang diyakini menjaga keharmonisan sosial.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin FIAD.