Usai pemilu Amerika Serikat pada 5 November 2024, Donald Trump resmi terpilih sebagai pemenang dan akan memegang tampuk kepemimpinan selama lima tahun kedepan.
Amerika Serikat yang menjadi pusat dari perekonomian dunia memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap ekonomi-ekonomi negara lainnya. Oleh karenanya kebijakan Trump nantinya akan sangat berpengaruh terhadap masa depan negara-negara lainnya, terutama Indonesia.
Kemudian, protectionism economy yang digagas oleh presiden Donald Trump digadang-gadang akan memberikan dampak negatif bagi negara-negara lainnya, khususnya Indonesia. Apa itu?
Apa itu Protectionism Economy?
jika kita lihat dari sisi bahasa, protect berarti menjaga. Sedangkan para ahli menjelaskan dengan lebih jelas tentang protectionism economy adalah sebuah praktis atau kebijakan ekonomi yang mana pemerintah dari sebuah negara lebih mementingkan konsumsi pada produk domestik untuk mendorong perekonomian negara, dan demi menjalankan program ini pemerintah akan memberlakukan kebijakan impor yang sangat ketat.
Kemudian, bagaimana protectionism econonomy ‘versi’ Trump ini bekerja?
Dalam beberapa sumber disebutkan, nantinya Trump akan memberlakukan kebijakan tarif atau pajak impor yang cukup besar, sekitar 10-20% untuk seluruh negara, dan lebih ketat lagi untuk barang impor dari China, dengan tarif sekitar 60%.
Jika kita melihat histori pada masa kepemimpinan presiden Joe Biden, tarif untuk barang impor hanya sekitar 2%, kemudian, jika nantinya benar-benar terjadi peningkatan menjadi 20% untuk semua negara dan 60% untuk China akan melahirkan beberapa efek domino bagi negara-negara tersebut.
Kemudian, untuk lebih jelasnya penulis akan berusaha untuk menyajikan beberapa analisis tentang dampak dari kebijakan ini:
China merupakan negara yang paling terdampak dari kebijakan ini, tarif 60% akan menyulitkan produk-produk mereka untuk bersaing di pasar US. Seperti yang kita tahu, bahwa salah satu power dari produk China adalah harganya yang terjangkau, dengan tarif 60% mereka tidak lagi diunggulkan dalam hal perang harga.
Kemudian, dari data yang kami ambil, di sana menyebutkan bahwa USA merupakan partner ekspor dengan value terbesar bagi China. Pada tahun 2023 China membukukan nilai ekspor ke USA dengan nilai sebesar USD 489M atau sekitar Rp 7.677T, dengan kontribusi terhadap PDB China sebesar 3%. Dan ini hanya ekspor ke US saja.
Kontribusi 3% dalam PDB bukan sebuah nilai yang kecil, mengingat China yang cukup rawan akan terjadinya resesi.
Apa Dampaknya Terhadap Indonesia?
Sumber: China: exports by country 2023 | Statista (Penulis sajikan diagram di atas untuk memudahkan visualisasi pada pembahasan selanjutnya.)
Penulis memprediksi dengan kondisi China yang tertekan untuk melakukan ekspor ke US, hampir secara pasti China akan mengurangi atau bahkan menghilangkan US sebagai opsi untuk melakukan ekspor, 60% tarif bukan angka yang kecil.
Permasalahannya, jika china tidak melakukan ekspor ke US yang mana nilainya hampir menyamai nilai ekspor ke European Union, maka barang-barang yang harusnya mereka ekspor ke US kemungkinan besar akan menumpuk.
Nah, dalam hal ini penulis berasumsi bahwa opsi tujuan ekspor dari barang yang sebelumnya di ekspor ke US adalah ASEAN Region.
Dalam hal geografis, jelas ASEAN lebih dekat daripada USA. Oleh karenanya ekspor ke ASEAN, penulis nilai lebih menguntungkan bagi china, lebih rendah beban operasional, tarif lebih murah dan konsumen yang cukup menjanjikan.
Dalam gambar diagram di atas, ASEAN region menduduki peringkat teratas dalam hal export value menunjukkan seberapa menjanjikannya pasar ASEAN bagi China.
Barang-barang china yang terkenal dengan harganya yang terjangkau dan kualitasnya yang tidak kalah saing dengan produk sekelasnya, penulis yakin bahwa produk-produk China ini akan menjadi primadona di kawasan Asia Tenggara.
Jika kita melihat kondisi negara-negara ASEAN yang mayoritas adalah negara berkembang, produk dengan harga murah adalah hal yang paling diminati oleh mereka para kaum mendang-mending.
Selanjutnya, penulis memprediksi aliran produk-produk China yang akan semakin menjamur di Kawasan Asia Tenggara, termasuk juga Indonesia.
Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia sekarang ini sering kita jumpai produk-produk buatan China yang harganya benar-benar di luar nalar, murah kebangetan.
Dengan kebijakan US tersebut nantinya produk-produk China akan semakin marak dan menjamur. Yang mana hal ini sangat tidak sehat bagi industri di Indonesia.
Seperti yang kita semua dengar bahwa industri tekstil di Indonesia mengalami tekanan yang sangat berat lantaran aliran produk-produk impor dari China yang dengan liarnya masuk ke Indonesia dan merusak harga pasar.
Berita terbaru, PT Sritex yang merupakan salah satu Perusahaan besar di industri tekstil dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada 23 Oktober tahun ini. Menandakan bahwa industri tekstil di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Dengan kondisi yang sudah compang-camping, industri di Indonesia kemungkinan besar akan kembali bersaing lebih sengit lagi dengan produk-produk China yang lebih terjangkau harganya.
Prediksi akan banjirnya barang impor China di Kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia akan melahirkan dampak yang negatif bagi perekonomian Indonesia nantinya.
Ketergantungan dan minimnya lapangan kerja, akan menjadi hal yang paling memungkinkan dalam kasus ini.
Tergantung akan China untuk supply produk-produk murahnya yang telah menjadi primadona Masyarakat.
Minimnya lapangan kerja kafrena terjadi banyak kebangkrutan dan penutupan pabrik-pabrik industri yang seharusnya bisa menampung tenaga kerja dengan jumlah yang luar biasa.
Hal tersebut juga nantinya akan berpengaruh terhadap PDB Indonesia kedepannya, perputaran ekonomi terganggu, banyaknya pengangguran hingga nantinya dapat mengakibatkan resesi ekonomi.
Selain akan mendapat tekanan dari produk-produk China, ada tantangan lain yaitu tarif ekspor ke US yang naik menjadi 20%.
Tercatat pada tahun 2023 indonesia membukukan nilai ekspor ke US senilai USD 23 Miliyar atau setara IDR362 Triliun, cukup mengesankan.
Kontribusi ekspor ke US terhadap PDB Indonesia pada tahun 2023 adalah sekitar 1,5% dengan nilai PDB Indonesia pada tahun 2023 sebesar IDR21.620 Triliun.
Meski hanya 1.5%, nilai tersebut tidak dapat diremehkan, mengingat indoneisa membutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7% pertahun untuk menjadi negara maju pada tahun 2045 nanti.
‘Resesi’ menjadi ancaman yang nyata bagi Indonesia jika tidak mampu menangani tantangan dan ancaman tersebut, dan pada akhirnya Indonesia emas hanya memjadi mimpi belaka.
Akan tetapi, kebijakan protectionism economy tersebut juga berpotensi menjadi pisau bermata dua bagi USA itu sendiri.
Dengan terbatasnya barang luar yang memasuki USA, mau tidak mau industry domestic harus bisa memenuhi kebutuhan pasar domestic, dan jika industry domestic tidak mampu memenuhinya, maka akan lahirlah kelangkaan produk atau bahan baku yang berakhir mengakibatkan ‘inflasi’ bagi USA.
Tapi kembali lagi, penulis memberikan disclaimer bahwa tulisan di atas hanya merupakan analisis dari penulis yang dihasilkan dari menganalisis berbagai sumber data yang beredar di internet, potensi melencengnya analisis akan tetap ada. Semoga kenyataannya tidak sesuram itu.
*Penulis adalah Anggota Bidang RPK IMM Komisariat Al-Faruq.