Rabu lalu, Cendekiawan Institute (CI) mengadakan sebuah ritus bernama musyawarah akhir periode. Sebagaimana ritus-ritus pada umumnya, ada beberapa rukun yang harus dilakukan. Mulai dari evaluasi hingga pemilihan ketua yang baru.
Momen evaluasi ini pun menjadi sangat krusial. Kami meninjau kembali beberapa hal nyeleneh yang dilakukan CI di sepanjang periode. Mulai dari penghapusan bidang di dalam struktural CI hingga menjadi satu-satunya Lembaga Semi Otonom (LSO) yang hampir tidak memiliki agenda formal.
Konon, siapapun yang berani melakukan penyimpangan terhadap suatu ketetapan, akan dicap sebagai pelaku bid’ah. Sebuah aktivitas melakukan perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan.
Berbekal habitus bid’ah yang telah dilakukannya sepanjang periode, CI merumuskan beberapa poin sebagai masalah dan tantangan dalam momen evaluasi tersebut. Poin-poin ini barangkali sangat mendesak untuk dibicarakan. Bukan hanya untuk CI sendiri, namun juga bagi elemen-elemen yang ada di dalam Ikatan.
Mendefinisikan LSO
Apa itu LSO? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak mudah untuk dijawab. Ketika IMM UINSA mendirikan Komunitas Kepenulisan, ada yang menyebutnya sebagai LSO. Memangnya LSO itu sama dengan komunitas?
Begitupun ketika IMM Komisariat Al-Faruq mendirikan Lawan Kata, hal itu disebut sebagai LSO dan tak jarang dipertanyakan fungsinya. Mengapa sebuah Komisariat memiliki LSO?
Dalam Tanfidz Muktamar DPP IMM 2024-2026, tepatnya di ART IMM Pasal 17 menjelaskan bahwa LSO adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang menjalankan sebagian tugas pokok IMM.
Meski demikian, sebagai “Unsur Pembantu Pimpinan”, LSO nampaknya tidak mendapatkan definisi yang lebih spesifik dalam dokumen-dokumen resmi keluaran PC IMM Kota Surabaya.
Setahun yang lalu, kami di CI pernah mempertanyakan apa itu definisi LSO. Namun kami hanya mendapat penjelasan dalam bentuk lisan, semacam folklor dari para senior.
Ketiadaan definisi yang mumpuni dalam artian tertulis, jelas melahirkan beberapa problem konseptual. Masalah di atas tadi adalah contohnya. Masalah lain misalnya, ada yang sempat memperdebatkan, LSO itu setara kedudukannya dengan cabang atau harus berada di bawah suatu bidang tertentu.
Jika di bawah bidang sebagaimana kalimat “unsur pembantu pimpinan”, apakah dengan ini artinya LSO tidak bebas menentukan arah geraknya? Jika tidak bebas, maka bagaimana dengan kreativitas kader?
Padahal, kreativitas pemikiran dan gerakan kader-kader tidak saja diformat secara struktural dalam tubuh IMM, melainkan dapat melalui lembaga creative minority. LSO sendiri dapat dikategorikan sebagai creative minority atau minoritas kreatif (Ahmadi & Anwar, 2014).
Di Bawah Bidang Sekaligus Creative Minority
Pahlevi (2018) menjelaskan bahwa istilah “minoritas” untuk menyebut golongan kreatif perlu ditransformasikan ke dalam istilah “komunitas”. Istilah komunitas dimaksudkan agar golongan ini menyadari dan mengorganisir dirinya sebagai pihak yang memiliki sebuah potensi.
Konsep creative minority berangkat dari kesadaran bahwa ada beberapa individu dengan maksud, nilai, keyakinan, dan kepentingan yang sama, yang memiliki kemampuan melahirkan sesuatu yang baru dan luar biasa (baik ide, cara, metode, tindakan, dan produk-produk lainnya).
Namun mereka dapat dikatakan sebagai “minoritas” di lingkungannya karena jumlahnya yang sedikit. Dalam konteks IMM, mereka terpencar-pencar di berbagai Komisariat. Agar dapat beraktualisasi, mereka harus disatukan dalam sebuah wadah. Karena tentu tak ada perubahan jika hanya mengandalkan diri sendiri, harus bersama-sama.
Konsep creative minority sebagaimana yang dijelaskan di atas, tentu sangat berbeda dengan frasa “unsur pembantu pimpinan”. Oleh karenanya, CI untuk sementara waktu menggunakan definisinya sendiri terkait LSO.
Bagi kami, LSO sudah tepat jika disebut sebagai unsur pembantu pimpinan. Namun, LSO juga adalah creative minority yang mengadopsi bentuk komunitas. Bentuk ini membuat LSO lebih dinamis, baik gerakannya maupun struktur keanggotaannya.
Rantai koordinasinya dengan pimpinan cabang pun lebih bersifat negosiasi dibanding instruksi. Dalam konteks ini, CI hadir untuk membantu Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan (RPK). Namun, CI juga memiliki arah geraknya sendiri. Arah gerak ini akan berdialektika dengan kebutuhan Bidang RPK.
Maka, CI mendefinisikan dirinya sebagai lembaga yang semi-formal, dengan menekankan pendekatan komunitas berbasis creative minority. Itulah kenapa, tidak ada pembagian bidang-bidang di dalamnya. Secara struktural, hanya ada ketua, sekretaris, serta anggota.
Menurut kami, jika LSO memiliki struktural yang banyak, ia malah akan menjadi tandingan bagi Komisariat. Alasannya sederhana, tenaga dan waktu yang dihabiskan kader di Komisariat sudah cukup banyak. Sehingga pembidangan di LSO hanya akan membuat beban kerja baru yang sulit untuk dilaksanakan.
CI sebagai Wadah Alternatif
Pendefinisian LSO sebagaimana di atas tadi, memunculkan dua poin penting. Pertama, LSO adalah unsur pembantu bidang. Kedua, LSO mengusung bentuk komunitas berbasis creative minority.
Dalam hal ini, arah gerak CI tentu tidak akan jauh-jauh dari riset dan pengembangan keilmuan. Priadana & Sunarsi (2021) menjelaskan bahwa riset sendiri adalah sebuah langkah untuk memperoleh sesuatu yang disebut sebagai ilmu.
Suriasumantri (2013) menjelaskan bahwa imu adalah pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Kebenaran yang dihasilkan dari kegiatan metode ilmiah dapat lebih dipertanggungjawabkan. Sebab melibatkan metodologi untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan kemungkinan benarnya lebih tinggi dibanding pengetahuan biasa.
CI sendiri memaknai bahwa pengembangan keilmuan dapat ditempuh dengan banyak cara. Mulai dari kajian, kepenulisan, hingga riset. Dari semua yang ada, agenda riset masih sangat sedikit jumlahnya sebagai gerakan di IMM hari ini.
Berangkat dari hal tersebut, kolaborasi Bidang RPK bersama CI akhirnya menghasilkan tiga riset di sepanjang periode lalu. Ketiganya masih dalam proses untuk terbit di jurnal ilmiah. Meski demikian, pemaparan singkat hasil risetnya sudah dipublikasi dalam bentuk berita.
Pertama, riset di IMM Komisariat Al-Faruq (Muhammad, 2024). Kedua, riset di Masjid Nurul Huda Kota Surabaya (Rohman, 2024). Ketiga, riset di IMM Komisariat Ibnu Rusyd (Ramadhan, 2024). Riset-riset ini kami maknai sebagai alternatif gerakan yang relevan bagi IMM hari ini.
Mengapa relevan? Sebab riset sebenarnya adalah keharusan. Tujuan IMM memuat kata akademisi, yang jelas tak dapat dipisahkan dengan kegiatan riset. Namun Komisariat tidak ada agenda riset, dan kita dapat memakluminya karena padatnya agenda.
Oleh karenanya, sudah menjadi tugas LSO semacam CI untuk melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Komisariat. Di sini lah relevansi dari konsep creative minority. Banyak kader yang ingin beraktualisasi dalam aspek riset, namun terpencar di berbagai Komisariat.
Secara jumlah, ia minoritas di Komisariatnya. Maka menganut konsep creative minority, kader-kader seperti ini dapat disatukan melalui LSO. Dengan adanya wadah, ia berkemungkinan lebih tinggi untuk dapat beraktualisasi.
Setidaknya inilah poin yang ingin digarap CI hingga iklim riset dapat terbangun secara merata di masing-masing Komisariat. Setelah merata (meski agaknya masih akan sangat lama sekali), CI harus memliki arah gerak baru.
Sebab cendekiawan memiliki arti yang sangat luas. Tidak semua cendekiawan harus fokus riset. Kridalaksana dalam Latif (2012) menjelaskan bahwa cendekiawan dapat disinonimkan dengan kata intelektual. Politisi hingga agamawan pun dapat dikategorikan di dalamnya.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Anggota Cendekiawan Institute.