
Di tengah stigma terhadap mahluk bernama “filsafat”, ada banyak cara “mudah” untuk mulai memahaminya. Salah satunya adalah dengan membaca kata pengantar yang ditulis oleh Bambang Sugiharto untuk buku berjudul Dunia Sophie karya Jostein Gaarder (2015).
Ia menulis begini, “Ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan demikian banyak hal konkret dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar, filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.”
Sugiharto melanjutkan bahwa padahal filsafat sebenarnya tidak seburuk itu. Sebab filsafat sebenarnya adalah sistematisasi pengalaman bernalar dan kecenderungan ingin tahu, yang telah kita miliki sejak masa kanak-kanak.
Filsafat pun akan memberikan panduan untuk bertanya tentang apa-apa yang dianggap sudah final di tengah kehidupan kita. Mengapa harus dipertanyakan? Sebab dari pertanyaan, kita dapat memahami sesuatu dengan lebih mendalam.
Keuntungan lainnya, kita dapat menemukan solusi dari sebuah permasalahan yang sangat kompleks. Masalah perlu dipecahkan. Sebab tidak ada manusia yang mau selamanya menikmati masalah.
Untuk mengatasi sebuah masalah, maka sebelum aksi nyata dilakukan, dasar pemikirannya juga perlu dirumuskan. Filsafat dapat membantu kita untuk hal tersebut. Menata pikiran, untuk kemudian merumuskan apa yang harus dilakukan.
Pertanyaan-Pertanyaan sebagai Proses
Martin Suryajaya pernah berujar, “Orang yang pertama kali belajar filsafat dan mencari kegunaan, akan berhenti belajar filsafat dalam waktu yang tidak terlalu lama. Itu sudah bisa hampir dipastikan.”
Mengapa demikian? Pada dasarnya, filsafat tidak menawarkan manfaat praktis secara instan. Filsafat lebih berfokus pada pencarian kebenaran, pemahaman yang lebih dalam tentang konsep-konsep abstrak, hingga refleksi kritis terhadap kehidupan.
Semua proses itu, sering kali tidak menghasilkan solusi cepat atau aplikatif seperti yang diharapkan oleh mereka yang menginginkan kegunaan praktis. Proses belajar filsafat menuntut kesabaran, ketekunan, dan keterbukaan untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan mendasar.
Sebagaimana yang dikatakan Louis O. Kattsoff (2011), bahwa filsafat tidak mengajarkan kita membuat roti. Meski demikian, filsafat dapat membantu untuk menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menakar bumbu dan racikan lain, serta mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat.
Dalam hal ini, maka dapat diartikan bahwa filsafat tidak akan membuat kita menemukan jawaban final, solusi. Namun filsafat akan benar-benar membantu untuk memandu kita memetakan jawaban tersebut. Meski akan memakan proses yang tidak sebentar.
Sekiranya itulah salah satu manfaat dari belajar filsafat. Sebuah aktivitas belajar, yang hasilnya juga dapat digunakan untuk mengatasi berbagai problematika Tak terkecuali tantangan-tantangan yang kita hadapi saat berproses di Ikatan tercinta.
Filsafat dalam Fungsi
Suatu hari, seorang teman berkata, “Lihatlah kader-kader Komisariat X, mereka sangat religius sekali.” Sebuah pernyataan yang membuat saya malah bertanya kembali: Memangnya, apa itu religius? Lalu juga religiusitas?
Selain itu, dalam perkaderan IMM, mengapa menggunakan kata “religiusitas”, bukan “spiritualitas”? Apa perbedaan dari keduanya? Belum lagi jika disandingkan dengan kata saleh, alim, beriman, dsb. Apa bedanya dengan semua itu?
Lalu yang menjadi pertanyaan lagi, mengapa dalam Sistem Perkaderan Ikatan (SPI) 2022, output kader dasar untuk religiusitas hanya sebatas: Bisa membaca Alquran dengan tartil?
Sebagai kader non instruktur, semua pertanyaan ini jelas menganggu. Terlebih ketika bertanya kepada para instruktur, banyak yang menjawab tidak tahu. Tentu ini PR. Jangan-jangan selama ini kita mengejar untuk membentuk religiusitas tanpa tahu apa itu religiusitas?
Ludwig Wittgenstein dalam Rozi (2018) mengajarkan bahwa kita perlu memahami kata-kata dalam konteks penggunaannya dan memahami bagaimana mereka digunakan dalam berbagai situasi sosial dan komunikasi.
Andai kita tidak mempertanyakan apa sesungguhnya definisi dari kata tersebut, maka kita harus menanggung konsekuensinya. Yaitu, kita menggunakan satu kata yang sama dengan makna yang berbeda.
Akibatnya? Banyak! Kita ambil ilustrasi begini: Suatu pimpinan di Komisariat, menyepakati bahwa mereka bersama-sama akan mendorong intelektualitas kader.
Namun, ada yang menganggap bahwa intelektualitas dibuktikan hanya dengan menulis. Sementara itu yang lainnya menganggap bahwa intelektualitas adalah sekadar banyak tahu. Beberapa juga menganggap intelektualitas adalah pintar berbicara hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan.
Mereka punya definisinya masing-masing, lalu yang dilakukan dalam keseharian berorganisasi pun berbeda-beda. Karena beda definisi tanpa sadar, mereka lantas bergerak sendiri-sendiri.
Padahal semua definisi itu bisa dikaji sejak awal menduduki struktural. Sehingga terbangun kesepahaman makna, lalu menjalankan semuanya dengan bersama-sama. Ini baru satu contoh.
Bayangkan, ada berapa banyak “kata” yang berseliweran dalam keseharian organisasi kita? Jangan-jangan, kita bersama menggunakan kata tersebut tanpa tahu maknanya apa. Lalu larut dalam arus ikut-ikutan.
Ini baru dalam konteks “kata”. Masih banyak hal-hal lain yang perlu dipertanyakan. Misalnya bagaimana posisi senior dalam gerakan kita? Analisis apa yang cocok untuk membaca semua itu?
Atau, bagaimana posisi ide-ide demokrasi dalam Musycab yang “terkonsolidasikan” sebelumnya? Apa sesungguhnya demokrasi itu sendiri? Bagaimana kita harus menilai konsolidasi tersebut?
Tentunya, masih banyak lagi yang dapat dipertanyakan dengan berfilsafat. Bukan hanya “dapat dipertanyakan”, namun, “perlu dipertanyakan”.
Kurikulum Filsafat
Desakan untuk membuat kurikulum semacam ini, sebenarnya datang dari rekan saya. Ada banyak yang mendasari. Mulai dari program kerja yang kurang berkembang di beberapa Komisariat hingga efek dari zaman yang serba cepat.
Perihal program kerja, sering sekali ditemukan semacam warisan yang stagnan. Format dan bentuk program kerja yang sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya, tanpa ada kajian ulang dan evaluasi. Akhirnya, tidak ada kebaruan dan agenda tersebut terjebak pada ritus-ritus formalitas belaka.
Contoh lain, saya pernah melihat sesederhana silabus materi pada acara perkaderan, yang copas dari tahun sebelumnya tanpa diperbaharui sedikit pun. Ketika ditanya, “Mengapa kok begini?” dijawab dengan, “Gak tau mas.”
Tentu ini mengkhawatirkan. Muhammadiyah dikenal dengan jargon pembaharuan, namun calon akademisinya mewariskan “tradisi” yang ia sendiri tak tahu mengapa harus melakukannya.
Di sisi lain, zaman tak henti-hentinya menawarkan kebaruan-kebaruannya (Nadkarni & Prügl, 2021). Inovasi teknologi, informasi yang tiada henti, dan dinamika sosial yang berubah setiap saat menciptakan realitas yang serba cepat dan terus bergerak maju.
Oleh karenanya, di tengah realitas yang selalu berubah dengan sangat cepat, kita butuh ruang untuk melambat. Sebuah ruang untuk menuntun dalam berefleksi, sehingga setiap yang dilakukan tidak tercabut dari esensi. Sebuah upaya sadar untuk tidak terseret oleh kecepatan zaman yang dapat menguras energi fisik maupun mental.
Filsafat dirasa mampu menjembatani untuk menghadirkan jawaban dari tantangan tersebut. Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah kurikulum sederhana. Kurikulum adalah semua kegiatan dan pengalaman potensial (isi atau materi) yang telah disusun secara ilmiah untuk mencapai tujuan pembelajaran (Darman, 2021).
Bermodal pengalaman sebagai jebolan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, penulis menyusun kurikulum filsafat untuk kader IMM sebagai berikut yang dapat diunduh di sini.
Penulis menyadari bahwa ada beberapa hal yang perlu dipahami kader-kader sebelum menggunakan kurikulum ini. Pertama, tidak semua kader memiliki latar belakang filsafat. Sehingga muatan materi di dalamnya disesuaikan dan disusun untuk semua kader dari latar belakang keilmuan yang berbeda.
Kedua, kita harus memahami bahwa inti dari filsafat adalah pertanyaan, alih-alih jawaban. Produk berpikir filsafat bukan kebenaran. Marxisme, eksistensialisme, liberalisme, dsb adalah produk filsafat, yang kita pelajari bukan untuk harus diikuti. Namun mempelajari bagaimana mereka mempertanyakan kehidupan dan menyusun sistem pemikiran berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Ketiga, ini adalah kurikulum sederhana yang disusun berdasarkan kajian pustaka. Kurikulum ini tidak dibaca untuk diikuti, melainkan lebih berfungsi sebagai sebuah peta yang perlu diberikan kritik. Jika dirasa berguna, maka harus dikembangkan ke depannya.
Keempat, literatur-literatur yang direkomendasikan di dalam tulisan ini tidak dapat dijadikan patokan umum. Sekali lagi, semua yang direkomendasikan di dalam kurikulum ini adalah hasil dari keterbatasan penulis dalam melakukan pembacaan. Jadi sangat mungkin bagi yang ingin menggunakannya untuk memilah-milah, sehingga nantinya dapat menemukan referensi yang lebih cocok.
Kelima, kurikulum ini disusun dengan maksud untuk digunakan hanya dalam jangka waktu setahun, khusus bagi kader baru. Belajar filsafat memang penting, namun poin-poin ideologi di dalam IMM menuntut kita agar lebih menghasilkan gerakan.
Penulis beropini bahwa pada tahun kedua, ketiga, dan seterusnya sebagai kader, perlu lebih dari sekadar filsafat untuk mencapai tujuan IMM. Mulai dari penguasaan metodologi hingga konseptual-konseptual dalam ilmu pengetahuan sesuai program studi masing-masing.
Pada akhirnya, filsafat adalah jalan untuk membuka cakrawala baru. Filsafat adalah dasar. Pengkajian atas filsafat lebih lanjut dapat dilakukan oleh mereka yang memang ingin fokus mengkajinya.
Namun, di sela-sela ber-IMM di tahun-tahun berikutnya. Filsafat dapat dipelajari meski tidak menjadi prioritas. Minimal sekali, untuk mempertanyakan ulang dan melengkapi apa yang dipahami saat menekuninya pada fase kader baru.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang RPK PC IMM Kota Surabaya dan Ketua Cendekiawan Institute.