Sebagai sarjana muslim modern, tentunya sangat tertarik jika ada pembicaraan atau bahasan tentang bagaimana potret Islam yang awal (kemunculan Islam). Sejak dulu hingga kini, kita telah diajarkan di kelas formal (sekolah) atau non formal (forum diskusi) mengenai sejarah Islam dan sudah pasti bahan ajar yang digunakan adalah kitab-kitab sirah dan sejarah Islam yang ditulis oleh ulama Muslim terdahulu.
Ibnu Ishaq (w. 767 M) adalah ulama terdahulu sekaligus penulis biografi Nabi Muhammad saw. paling awal yang karyanya telah sampai kepada kita saat ini. Karya Ibnu Ishaq juga dihimpun oleh Ibnu Hisyam (w. 833 M). Namun, anehnya Ibnu Hisyam sendiri tidak pernah bertemu Ibnu Ishaq pada masa hidupnya.
Hal ini bisa terjadi karena menurut Norman Calder (1993) sarjana asal Inggris, bahwa banyak ulama muslim terdahulu punya kebiasaan menisbatkan karya-karyanya kepada ulama sebelumnya yang dianggap memiliki otoritas tinggi. (Sirry, 2017).
Jika kita cermati, kitab-kitab sirah atau sejarah Islam mulai ditulis antara tahun 750-800 M yang berarti ditulis empat atau lima generasi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Kitab-kitab yang menjadi sumber memproyeksikan Islam yang awal itu ternyata ditulis belakangan, jauh dari peristiwa asli yang terjadi.
Atas alasan itulah sarjana muslim modern mempertanyakan akurasi faktualnya. Apakah peristiwa yang tertulis di dalam kita-kitab itu sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi?
Fakta dan harus diakui, bahwa sampai sekarang ini kita tidak memiliki sumber informasi tentang kisah hidup Nabi Muhammad saw. dan awal kemunculan agama Islam, yang ditulis pada zaman beliau sendiri.
Sebagian dari kalangan Muslim, mungkin berargumen bahwa para ulama muslim terdahulu itu dapat dipercaya dan tidak mungkin berbohong dengan membuat cerita berdasarkan khayalan.
Beragam informasi yang terdapat dalam kitab-kitab ulama muslim terdahulu didasarkan pada tradisi periwayatan yang memang sudah dikenal masyarakat Arab. Apalagi, melihat citra bangsa Arab yang digambarkan sebagai masyarakat “buta huruf”, sehingga tradisi periwayatan (transmisi lisan) lebih banyak digunakan daripada tradisi penulisan.
Hal ini dapat diartikan, bahwa dengan tidak adanya dokumen tertulis tidak berarti informasi yang tertulis dalam kitab-kitab karangan ulama muslim terdahulu tidak memiliki nilai historis.
Selebihnya, para ulama terdahulu juga telah menciptakan dan mengembangkan suatu metodologi untuk memverifikasi tingkat akurasi silsilah periwayatan, yang dikenal dengan istilah “sanad” guna membedakan berita akurat atau tidak (Sirry, 2017).
Argumen semacam ini terlihat blunder, sebab untuk mengatakan bahwa informasi yang ditransmisikan para perawi itu akurat, kita harus memiliki keyakinan bahwa mereka dapat dipercaya, dan kredibilitas para perawi bergantung pada informasi yang akurat tentang mereka sendiri.
Perlu diketahui, bahwa tradisi periwayatan sebenarnya muncul belakangan, yang mungkin saja dimotivasi oleh keinginan untuk memperkuat informasi yang disampaikan. Selebihnya, metode itu dimunculkan menandakan bahwa ada kebohongan yang terjadi dalam proses periwayatan (Sirry, 2017).
Berbicara tentang akurasi laporan informasi dari suatu peristiwa, kenyataan pada zaman modern, bukan hal yang mudah untuk membuat laporan tentang suatu peristiwa yang terjadi beberapa minggu lalu. Dan, itu saja bisa bermasalah, mustahil merekam peristiwa apa adanya serta menyeluruh.
Bagaimana dengan menuliskan laporan suatu peristiwa yang terjadi ratusan tahun lalu? Perlu diketahui juga, ketika suatu peristiwa dilukiskan dengan kata-kata, maka otomatis terjadi banyak reduksi dan distorsi.
Kita juga harus menyadari bahwa peristiwa itu terjadi ratusan tahun yang lalu, jangankan kamera video, bahan-bahan untuk menuliskan suatu peristiwa saja masih sangat terbatas.
*Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi IMM Komisariat Ushuluddin FIAD.